Minggu, 26 Februari 2012

SESEORANG YANG KUSEBUT DIA “AYAH”


Seseorang yang kupanggil ia dengan sebutan Ayah. Mungkin harusnya aku membencinya. Karena dia sangatleh berbeda dengan ayah-ayah lainnya, yang dibangga-banggakan oleh anaknya karena perhatiannya, kasih sayangnya, dan juga wibawanya. Bagaimana aku tidak membencimu, sedari kecil kau memperlakukanku seperti pembantu ketiga, selain Bi Minah dan juga Mama. Bagaimana aku dapat membanggakannya, karena memang benar dia sungguh berbeda dengan ayah teman-temanku. Ayah yang selalu mengantarkan mereka dengan senyuman dan lambaian tangan dibalik kaca mobil di depan sekolahku. Ayah yang selalu merangkul dan memeluk anaknya untuk memberikan selamat atas prestasinya di akhir semester dan yang telah menyiapkan berbagai hadiah dan kejutan untuk membahagiakan anak mereka. Sedangkan ayahku, jangankan untuk mengantarku setiap hari, sekedar untuk melihat indahnya barisan angka 9 di raporku saja ia tak sempat.

Mungkin dia yang pertama harus disalahkan, jika akhirnya aku pun tak memiliki teman meski seorang. Karena ia yang mengajariku demikian. Hidup dalam keegoisan dan kesendirian. Sahabat hanyalah alat bantu untuk memudahkan pekerjaan. Maka lihat saja Renny, Cessil, Liona yang awalnya malas berdekatan denganku, dalam waktu setengah semester bisa langsung menjadi ajudan-ajudanku karena kujanjikan liburan ke Bali bersama di hari ulang tahunku. Hahaa…itu juga tidak lama, karena seusai tugas kelompok yang kukerjakan dengan mereka selesai, mereka pun kulepaskan. Jangankan untuk menjemput mereka dengan mobil pribadiku seperti biasa, rengekan untuk meminjam uang padaku pun tak kuhiraukan. Teman adalah alat bantu. Selesai.

Dia juga yang harus dipersalahkan jika akhirnya aku tak mengenal cinta. Karena pertama kalinya aku menyukai seorang laki-laki karena kebaikannya, dan kebijaksanaannya yang tak kutemukan pada sosok ayahku, dengan mudahnya dia patahkan dengan mengusir laki-laki itu saat kali pertama aku mengajaknya berkunjung ke rumahku. Bahkan dengan angkuhnya mengatakan untuk berhenti berharap banyak pada putrinya karena ia tidak akan membagi hartanya sepeser pun pada menantunya nanti. Dan kejadian patah hati untuk pertama kalinya itu pun sukses membuatku dilarikan ke RS karena kenekatanku menenggak sebotol racun serangga di kamarku.

Jika ada orang yang mengenal ayahku terlebih dahulu kemudian melihatku, maka dengan mudahnya mereka akan mengenaliku sebagai anaknya. Karena aku mewarisi segala karakternya. Keras kepala, tak punya hati, dan segala sandangan negative yang hanya pantas diberikan pada tokoh antagonis dalam film atau pun sinetron. Bagaimana aku tidak terbentuk seperti itu, aku dilahirkan dan dibesarkan di tengah lingkungan yang kejam. Adegan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi tontonan lumrah di mataku. Melihat mama menangis di sudut kamarnya dengan pipi yang membiru tak lagi membuat runtuh hatiku. Justru semakin membuatnya keras membatu. Semakin dan semakin membenci laki-laki yang tertulis sebagai wali di akta kelahiranku itu.

Aku masih mengasihani mama yang hidupnya telah sukses dihancurkan oleh seorang laki-laki yang sayang sekali ditakdirkan menjadi suaminya. Beberapa kali aku memintanya untuk menyerah. Tidak ada gunanya lagi bertahan dengan siksaan lahir batin berkepanjangan seperti ini. Namun ia selalu menyanggah,” Bagaimana pun mama masih mencintai ayahmu”. Kemudian aku baru menyadari, mamaku tak hanya malang nasibnya, tapi ia juga bodoh, dibodohi oleh cinta. Saking bodohnya, mama hanya terdiam saat datang seorang wanita muda membawa seorang anak laki-laki 3 tahunan kerumahku, mengaku sebagai istri siri ayahku. Justru aku yang mengumpat-umpat. Bagaimana bisa dia mendatangi wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya dan meminta belas kasihan untuk membeli susu anaknya?! Munafik. Sok lemah, padahal dia dengan gincu dan baju seksinya telah menarik laki-laki satu-satunya di rumahku untuk berselingkuh dengannya. Aku tak habis pikir, untuk apa mama masih mau menangisi suami yang jelas-jelas sudah menghancurkan masa depannya. Ternyata, baru aku menyadari, wanita yang kukira superwoman karena berhasil bertahan dari kekejaman ayahku ini tak lain hanyalah wanita yang tak mampu bertahan hidup miskin. Dia memilih untuk terus-terusan sakit hati, tapi masih bertahan di rumah mewah ini, dibanding dengan nekat meninggalkan ayahku yang pernah mengancam takkan memberikan harta gono-gini. Pelajaran ini membuatku sadar sepenuh hati, cinta itu bodoh dan membodohi.

Nyatanya, apa yang dipertahankan mamaku tak selamanya abadi. Tak lama setelah ayahku memilih untuk menceraikan istri keduanya yang tak henti-hentinya memeras keluargaku, ayahku ditangkap polisi atas tuduhan penggelapan uang perusahaan. Rumah, mobil, dan seluruh asset kekayaan keluargaku disita sebagai barang bukti. Mama hanya pingsan mendengar keputusan hakim di persidangan itu. Selanjutnya aku hidup di sepetak kontrakan hasil menjual kalung berlian yang melingkar di leherku.

Rasanya malas mengunjungi laki-laki yang sayang sekali harus kuakui sebagai ayah itu lagi. Namun, panggilan dari kehakiman tak urung membuatku mau juga mendatangi lapas yang memenjarakan ayahku ini. Rupanya tak habis sampai disitu penderitaan yang dituai oleh laki-laki itu. Ayahku tertangkap basah sakaw di ruang penjaranya. Hanya 2 bulan setelah masa hukumannya. Padahal yang kutahu, atau setidaknya keterangan dari polisi bahwa ayahku bukanlah pemakai narkoba saat ia masuk lapas ini. Namun ternyata ia tak mampu membendung godaan mafia-mafia kokain diantara kamar-kamar hotel prodeo ini. Hamper saja aku menyangkalnya dari polisi bahwa itu ayahku, karena aku tak lagi mengenalinya sekarang. Dengan mata sayu, dan tubuh yang sulit tegak karena pengaruh obat-obatan haram yang sedang meracuninya. Dengan menyerahkan uang terakhirku bulan itu, aku pasrahkan pengobatan ayahku di panti rehabilitasi yang difasilitasi oleh kehakiman yang menghubungiku sebelumnya.

Aku membencinya. Dari dulu aku membencinya. lidahku kelu untuk memanggilnya “ayah”. Ingin kuhapus nama-namanya di rapor dan ijazah-ijazah sebagai waliku, karena sungguh dia jauh dari tindakan bertanggung jawab, apapun yang dilakukannya. Rasanya jika aku memiliki timbangan untuk membandingkan kebaikan dan kekejamannya dalam hidupku, maka akan sulit mengharapkan itu akan seimbang. Yang pasti berat timbangan kekejiannya. Aku malu mengakui diriku sebagai anaknya. Aku muak melihat wajahnya, karena setiap kali mama menyebutnya, yang terlintas adalah muka telernya saat sakaw kemarin.

Bahkan, hingga akhir hayatnya…

Aku memilih untuk tidak mengunjunginya kembali dip anti rehabilitasi meski dikabarkan bahwa ayahku terkena serangan jantung dan keadaannya kritis. Dengan culasnya aku berkata pada mama “semasa hidup saja sudah merepotkan, sekarang mau mati masih mau merepotkan juga?”. Dan mamaku hanya mampu menangis dan mengurut dada mendengar penuturanku.

Namun, disini… di pusara terakhir dikuburkannya ayahku untuk selamanya, aku tak mampu memakinya. Aku tak mampu mencaci namanya. Aku tak mampu mengatakan jutaan kekecewaanku di semasa hidupnya. Bahkan aku tak mampu membendung tangis yang mengalir, menganak sungai di pipiku.


“Sophie…datangilah ayahmu, nak… di akhir hidupnya dia hanya menyebut namamu. Kamu yang diharapkan dapat dilihatnya terakhir sebelum menjemput ajalnya. Kamu putrid satu-satunya. Kamu yang ingin ditemuinya saat ia meregang nyawa. Kamu yang ingin dipeluknya untuk terakhir sebelum meninggalkan dunia. Untuk menyampaikan rasa berdosanya selama ini telah menyia-nyiakan dirimu selama ini… Kasihani ayahmu, nak…”ucap mama sembari menyerahkan selembar surat berisi tulisan tangan ayahku.

Tangisku pecah. mulutku tak henti-hentinya menyebut namanya. Dia yang kusebut sebagai Ayah…


Sophie, putriku…

Ingin rasanya aku memelukmu … bahkan jika engkau ijinkan, aku akan bersujud meminta maaf padamu, nak…

Maafkan aku…yang tak pantas menjadi panutan di keluargamu…

Bahkan aku malu menyebut diriku “ayah” di hadapanmu, atas kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan sepanjang hidupku…

Sophie, maafmu akan melepaskan belenggu rasa berdosa yang mengikat ragaku…

Bebaskan aku untuk menjemput pintu ajalku…

Sebelum nanti akhirnya aku pun dihakimi di hadapanNya, ijinkan aku mengucapkan sekali lagi…

Tidak, seribu kali lagi…sejuta kali lagi…hingga bibirku benar2 terbungkam untuk selamanya…

Maafkan aku, anakku…


-Ayahmu –

Jumat, 03 Februari 2012

Sweet words about love...^^

Kau mencintaiku
Seperti bumi
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Menanggung beban derita
Tak pernah lelah
Menghisap luka

Kau mencintaiku
Seperti matahari
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah
Menghangatkan jiwa

Kau mencintaiku
Seperti air
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membersihkan lara
Tak pernah lelah
Menyejukkan dahaga

by : Ayatul Husna (KCB)



>>Klo kata mb' Anna ALthofunnisa' bgini, nie...

Sekalipun CINTA telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.

Namun jika CINTA kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri.

Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.

Namun tanpa lidah,

CINTA ternyata lebih terang

Sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya

Kata kata pecah berkeping keping begitu sampai kepada CINTA

Dalam menguraikan CINTA, akal terbaring tak berdaya

Bagaikan keldai terbaring dalam Lumpur

CINTA sendirilah yang menerangkan CINTA dan perCINTAan


>> nice, nice, nice...
melting gw...:p