>> 15 Agustus 2010
Kinanti mengayuh sepeda anginnya dengan lemah. Bukan karena puasanya hari ini. Bukan juga karena cuaca Surabaya memang tak sedang bersahabat. Tapi apa yang kejadian tadi pagi tetap saja menggelayut di otaknya dan enggan pergi.
Hatinya begitu sesak mendengar keputusan sepihak si Mas’ul syuro’ untuk tetap mendudukkannya di amanah yang ia enggan menerimanya. Ia ingin berkembang. Ia ingin keluar dari lingkaran kecil ini. Masa begitu saja nggak ngerti!
“Seorang kader dakwah harus siap menerima amanah apapun, kapanpun. Karena pada dasarnya ia adalah air, yang menyuburkan dimanapun tempat yang ia lewati, ia singgahi. Dan meskipun itu terkadang tidak sesuai dengan kehendak hati, yakinlah bahwa amanah itu bukan datang dari manusia, tapi Allah yang memilih antum untuk mengemban amanah ini.”
Taujih singkat yang barusan ia dengar sebagai penutup forum syuro’ pagi tadi, tak juga membuat Kinanti lega hati. Segudang pertanyaan menyeruak dalam pikirannya. Dianggap tidak mampukah dia? Dalam hati ia cemburu pada teman-teman satu lingkarannya yang diamanahi di forum yang lebih tinggi diatasnya.
Sampai di kamar mungil di tempat kosnya tercinta, Kinan tak sabar untuk segera menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Sesaat tubuhnya mendarat, tak kuasa lagi ia menahan butiran air yang menghambur keluar.
Drrrtt…Drrrttt. Getar ponsel dalam tas yang masih disandangnya tak urung membuat tangis Kinan berhenti sejenak.
Dek Sylvia. Ia menyeka matanya yang masih berembun untuk mempertajam penglihatannya yang mengabur.
Assalamu’alaikum, kakak…^^. Long time no see yuhh! Sylvi Cuma mau ngasih kabar nie, kalo akhir semester ini acara Tafakkur Alam mau diadain lagi di Poncol. Seperti biasa, Sylvi mau minta kakak untuk ngisi, kan sekalian refreshing kak, daripada musingin kampus terus, hehe…Mau yah, yah, yah??
PS: tidak menerima penolakan! :p
Bukannya terhibur, Kinan justru semakin terisak. Akhir semester ada agenda besar di kampusnya. Kenapa amanah ini begitu menyiksanya? Merenggut kebahagiaannya menikmati dakwah di sekolah yang baru 2 tahun ditinggalkannya. Mengurung kebebasannya berekspresi. Terpaksa harus mengakui dan mengikuti apa itu yang namanya ‘keputusan syuro adalah keputusan tertinggi’.
Tapi sayang Kinan tidak dilahirkan sebagai gadis pemberontak. Bagaimanapun dia adalah gadis jawa yang penurut. Penolakan hatinya hanya berhenti di ujung tenggorokan yang akhirnya tak mampu ia ucapkan. Hanya bulir-bulir air yang terkadang merembes membasahi pipi yang ia tutupi dengan menunduk dalam, seperti menghayati instruksi yang diberikan padanya.
0o0
Malam ini Kinan menuruti ajakan teman-teman kosnya untuk safari masjid. Tarawih di masjid besar lain yang sedikit jauh dari tempat kosnya. Lagi-lagi Kinan hanya menurut saja, meski kepalanya masih berat memikirkan peristiwa tadi pagi.
Rupanya ada sesuatu yang lain yang sedang dipersiapkan Allah untuk menjawab kegalauan hatinya. Itu adalah ceramah ‘biasa’, sebelum shalat witir dilaksanakan.
Lewat speaker masjid diatas kepalanya, suara penceramah itu begitu jelas menyapa telinga Kinan. Sang ustadz menyitir sebuah hadist yang dengan kepiawaiannya menjadi sebuah 'dongeng' yg menarik untuk disimak.
Umar bin Khattab ra. pernah berkata pada Rasulullah,"Ya Rasul, sesungguhnya aku mencintaimu melebihi harta perniagaanku, istri, dan seluruh apa yang aku miliki seperti aku mencintai diriku sendiri". Lalu Rasulullah menjawab,"Sungguh, engkau belum benar-benar mencintaiku (beriman padaku), karena seseorang yang beriman padaku, akan mencintaiku lebih dari nyawanya sendiri". Sejenak Umar ra. terdiam, kemudian berikrar,"Baik Ya Rasululllah, mulai saat ini aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri."
Taujiih singkat itu merasuk dalam pikiran Kinan. Tepat menohok relung hatinya. Karena ia pernah berpikir untuk lari dari sebuah amanah dakwah. Wajar kiranya jika manusia yang dibekali dengan akal, akan membanding-bandingkan apa yang dimilikinya. Di kampusnya, yang ia sebut sebagai ‘rumah baru’, tak banyak kebahagiaan yang Kinan rasakan. Banyak tuntutan yang menimbulkan kepenatan. Banyak kekecewaan yg membuat diri dan jiwanya lelah melangkah. Terlalu banyak tangisan dibanding senyuman. Jauh jika dibandingkan di SMA-nya, yang ia sebut sebagai 'rumah lama'. Keceriaan, Ukhuwwah rasanya itu lebih dari cukup untuk membuat dirinya menjadi betah berdakwah. Semangat berjuang bersama orang-orang yang sangat menghargai segala yang ia lakukan, menguatkan diri Kinan. Sanjungan dan pujian tak jarang ia dapatkan di ‘rumah lama’ dibandingkan di 'rumahnya yang baru'.
Kemudian saat Kinan ‘hijrah' ke tempat asing yang ia sebut sebagai ‘rumah baru’, sungguh berbeda rasanya. Hatinya masih terikat di 'rumah' yang lama. Meski raganya bekerja keras di 'rumah baru’,nya tapi rasanya sulit sekali untuk ikhlas, karena Kinan merasa apresiasi yang ia terima tak sepadan dengan usaha yang ia lakukan.
Dan saat ini, ketika amanah itu datang bersamaan dari 'rumah' yang baru dan yang lama. Ingin rasanya Kinan lari dari amanah yang menguras waktu, tenaga, pikiran dan emosi jiwanya. Pasti menyenangkan rasanya berkumpul dengan adik-adik yang menyayanginya di 'rumah' yang lama. Mereka masih kecil, masih butuh dukungan dan bimbingan dari kakak yang bersedia memberikan apapun untuk 'rumah' yang telah membesarkannya ini.
Tapi lagi-lagi keterpaksaan dijadikan alasan bagi Kinan untuk menahan ekspresi penolakannya, memaksa dirinya untuk bertahan di 'rumah' baru ini. Karena 'rumah' baru ini rapuh. Tak banyak orang yang mau menjaganya. Lantas bagaimana kalo 'rumah' ini tiba-tiba roboh? Meski Kinan merasa bukan sepenuhnya tanggung jawabnya, pasti menyakitkan rasanya membayangkan dakwah tak lagi tegak di 'rumah baru’nya.
Lalu dengan menahan sakit, penat, dan kerinduan amat mendalam pada 'rumah' yang lama, Kinan putuskan untuk bertahan di 'rumah baru' ini. Meski dengan konsekwensi jika tonggaknya roboh, dia harus menyediakan tubuhnya menjadi penopang 'rumah' ini. Jika tiangnya retak, maka Kinan harus menguatkannya, meski sebenarnyaia merasa dirinya tak sekuat itu.
Lalu pertanyaan-pertanyaan besar memenuhi pikiran Kinan. “Mengapa saya yang harus melakukan ini semua? Apa yang saya dapatkan disini? Hanya lelah sajakah? Bukankah sama saja, dakwah yang diperjuangkan? Hanya bedanya d 'rumah' yang lama kewajiban saya hanya tinggal menyuburkannya, tapi disini saya harus mencangkuli untuk menggemburkannya, belum lagi harus siap menjadi 'pupuk' ketika tanahnya kering kerontang.”
Dan apa yang barusan ia dengar lewat kotak hitam diatas kepalanya itu menjadi jawaban dari segala pertanyaannya. Ternyata Kinan mulai mencintai 'rumah' saya yang baru. Mengapa ia bersedia sakit hati, merasa penat dan lelah disini. Ternyata cinta bisa membuat manusia mengorbankan kebahagiaannya di tempat yg lain.
Kinan menyadari, bahwa mungkin banyak teman-temannya merasakan hal yang sama, merasa lelah dan ingin pergi meninggalan 'rumah' yang saat ini mereka jaga. Tapi Kinan yakin, semua itu adalah bentuk ujian kesetiaan buatnya. Bukankah, tidak akan diterima pengakuan iman seseorang sebelum ia mendapat ujian atas pernyataan iman (cinta)nya?
Kinan mengkaji ulang kenginginnya untuk keluar dari 'rumah' ini. Karena suatu hari nanti, bisa jadi ia menangisi keputusannya. Ketika kejayaan islam benar-benar tegak di 'rumah' ini, barangkali ia akan menyesali,"Kenapa bukan saya yang menjadi salah seorang dari muharrik-muharrik yang sekarang merayakan kemenangannya?"
Dengan memantapkan hati, Kinan membalas sms Dek Sylvi yang tadi siang masuk ke ponselnya.
Isinya? Permintaan maaf karena absennya pada kegiatan puncak Rohis SMA-nya yang belum pernah Kinan lewatkan sebelumnya. Sekaligus kalimat semangat, supaya bertambah cintalah mereka, adik-adik yang ia tinggalkan di ‘rumah yang lama’ pada amanah yang saat ini mereka jaga.
Sent.
Terukir senyum di bibir Kinan untuk merayakan hatinya yang kini terasa lega.
0o0