Kamis, 19 Januari 2012

Kinan's Diary : "and the story goes..."

--24 September 2011--
Kinan membuka pintu kontrakan mungilnya, seolah tidak sabar mempersilahkan udara pagi menyapa wajahnya.
Ini sudah memasuki hari ke-14 bagi penelitian Kinan. Bukan sih, sebenarnya Kinan hanya ikut ke dalam tim penelitian dosennya tentang kebudayaan masyarakat Tengger di sebuah desa kecil di Pasuruan, Jawa Timur.
Hari ini, bagi Kinan adalah hari biasa saja. Tapi justru menjadi tidak biasa ketika ia mendapati beberapa sms dan telepon masuk tadi malam, ketika memasuki jam 00.01 WIB. Seperti yg sudah ia duga, pengirim sms2 itu tak lain adalah orang yang telah lama ia 'abaikan'. Hemmhh...di recent call saja ia masih melihat nama itu. Dia yang namanya tak boleh disebut.
Kinan memakai kaos kaki dan sandal gunungnya. Tracking?. Nggak,lah... Nggak sepagi ini juga. Kinan hanya ingin menikmati keindahan panorama Tengger yang masih asri. Tidak seperti kota tempat ia menuntut ilmu.

Baru saja ia melangkahkan kaki keluar dari halaman rumahnya, wajahnya mendadak berubah ketika menangkap sosok yang sudah lama ia kenal. Orang yang tidak ingin dilihatnya saat ini.
"Pagi, Kinan..." senyumnya yang khas menyapa Kinan yang tak terdefinisikan bagaimana roman kagetnya.

"Kamu? ngapain disini?" Kinan berusaha menahan nada bicaranya, tak ingin terkesan tinggi.

"Iseng. Ya ga mungkin lah aq nyasar sejauh ini dari Malang." Laki-laki itu masih saja tersenyum. Bahkan seolah menahan tawa melihat betapa lucunya muka Kinan yang terkaget-kaget seperti sekarang ini.

"Trus? tujuannya kemari?" Kinan masih saja mengerjap-kerjapkan matanya, berharap makhluk di depannya itu hanya ilusi dan menghilang setelah ia membuka mata.

"hahaha...Kinanti..Kinanti, kamu masih aja lucu ya, kayak biasanya... Ya apalagi tujuannya kalo ga nemuin kamu? Emang aku punya alibi lain?"
Bego! Kinan merutuki dirinya sendiri. Ngapain juga ditanya. Selama ia mengenal orang ini, setahu dia Adrian memang nggak punya sodara di Pasuruan dan sekitarnya.

"Trus, kamu tahu alamatku dari mana?" Kinan sudah tidak dapat menyembunyikan wajah tidak sabarnya. Tidak sabar melihatn orang ini segera enyah dari pandangannya.

"Menurutmu?" Adrian masih saja menggodanya,"intuisi, neng...pake perasaan"

Hueekk!!, Kinan hampir saja mual mendengar gombalan ga mutu itu sekali lagi. Emangnya dia bakalan percaya. Iya kalo Kinanti jaman baheula, yg dgn mudahnya percaya dengan kalimat-kalimat ga logis kayak dulu. Emang jantung ada GPS-nya apa?? Atau..Kinan mulai curiga, jangan2 ada yang memasukkan chip tertentu dalam tas-nya, sehingga Adrian dengan mudahnya mendeteksi lokasinya. Hahh...Gila! emang-nya ini film action hollywood?? KInan menggoyang-goyangkan kepalanya.

"Ehh, emangnya enak, ya ngobrol sambil berdiri begini?" Adrian buka suara lagi.

"Emang kamu berniat berapa lama disini?" Kinan keluar jutek aslinya.

"Deuu...segitunya kalo ngusir. Nggak kasian apa, aq naek motor bgini dari jauh, bukannya disuruh duduk dlu...malah udah ngusir2" protes Adrian.

Lalu Kinan mengambil posisi duduk di kursi kayu panjang di halaman rumahnya. Tanpa disuruh, Adrian juga duduk disamping Kinan. Menyadari hal itu, Kinan bergeser menjauh.
"Iya, iya...aq juga ga akan deket2 kok sama kamu. Ngerti deh, bukan muhrim, kan? Tapi jangan minggir2 dong,ntar kamu jatoh lagi"

"Gini aja udah bisa timbul fitnah tau" ucap Kinan, masih sama ketusnya.

"Kamu kenapa sih, ga pernah baik sama aq? Masih panjang juga list kesalahanq sama kamu. Permintaan maafq tiap hari itu ga bisa juga menebusnya?" Adrian protes lagi, mulai tidak sabar dengan sikap Kinan.

Kinan diam.

"Oke, sekali lagi. Aq minta maaf. Aq bingung aja, seberat apa sih dosaq sama kamu, sampe kamu ga bisa lagi berubah jadi baik sama aq? Ini Kinanti yang dulu aq knal bukan sih? yg selalu menanankan nilai-nilai kebaikan sama aq, mengingatkan untuk terus bersabar klo aq mulai tempramen" kali ini Adrian benar2 panjang-lebar. Kinan agak terkejut. Laki-laki di sampingnya kini sudah berubah. Bukan lagi kapten basket yang dulunya cool dan terkesan acuh, tapi justru sekarang seperti salesman yang ga brenti2 muji dagangannya.

"Iya, trus sekarang maunya apa?" Kinan menata kalimatnya. Juga nada suaranya. Dia ambil 1 oktaf sedikit lebih rendah.

"ga banyak kok...cuma mau ngasih ini" ADrian mengambil kotak warna pink dari tasnya. "Selamat ulang tahun, kamu meski di pedalaman gini masih inget tanggal kan?" Adrian mulai melucu lagi, tapi tak juga berhasil membuat Kinan tertawa.

Kinan ragu menerimanya. Sebenarnya hal seperti ini mungkin sudah sangat wajar baginya. Setiap tahun, orang ini selalu membuat 'kejutan' yang alhirnya tak mengejutkan lagi buat Kinan. Tapi, dibela2in menemuinya dengan perjalanan yang cukup berat dengan sepeda motor, sendirian. Yang ini yang belum terpikir oleh Kinan hingga 15 menit yang lalu.

"Kamu masih nggak mau nrima,Kin?" Muka Adrian memelas.

Akhirnya Kinan membuka tangannya, meraih kotak dari tangan Adrian itu. Terpaksa.

Rrrr...Rrrr... Ponsel di tangannya bergetar. Dari Ovy.
"Kak, Kak Adrian ke tempat kakak sekarang?" begitu bunyi sms-nya.
Dahi Kinan berkerut, memandang layar HP-nya dan Adrian bergantian. Adrian salah tingkah. Oohh, sepertinya Kinan tau sekarang kenapa Adrian bisa ada disini. Bagaimanapun, lokasi penelitiannya itu jauh dari kota 20km dari kecamatan, 10km dari jalan raya. Dengan medan seperti ini, dan keterbatasan akses informasi, bagaimana bisa Adrian dengan mudah menemukannya??

Kinan membalas sms adiknya,"Kamu kasih tau Adrian alamatku?? Tega ya kamu!" dengan teramat kesal dia memencet tombol OK di layar HP touchscreen-nya. Adrian menatapnya bingung.

"Kamu sogok pake apa Ovy biar mau kasih alamatq disini?"

Adrian semakin salah tingkah,"Ovy kasih tau kamu?? Emm...Kin, please ya..jangan marahin Ovy. Dia juga terpaksa kok kasih tau aq. Sebenernya dia keceplosan aja sie waktu cerita kamu ada penelitian disini, akhirnya aq mohon dia ngasih alamat kamu. Dia cuma ga tega aja kok sama aq, jangan benci adik kamu ya?"

Ihh, pede amat! yang ada juga gue benci sama lu!, batin Kinan.
"Yauda, sekarang kan tujuan kamu uda terlaksana kan? Ada lagi?"
Sumpah. Kinanti sepertinya sudah agak lupa tentang adab-adab kesopanan menghadapi tamu kalo tamunya seperti ini.

"Emm...sekalian aq mau pamitan, Kin" nada suara Adrian melemah lagi.

Kinan sudah malas mendengar yang seperti ini. Bukan baru sekali Adrian memakai teknik seperti ini untuk meruntuhkan pertahanannya.

"Kemana?" Hufft! kenapa mesti tanya juga? teriak batinnya.

"Aku diterima kerja di luar jawa, kemungkinan berangkat bulan depan"
Oohh, wajar sih..dia kan udah lulus. Trus kenapa?

"Sebenernya ada tawaran juga sih di Jawa. Tapi...mungkin emang lebih baik kalo aq pergi jauh.
Menjauh dari orang-orang yang tidak menginginkanku lagi"

Naahhhh...tu dia tau!

"Kenapa merasa seperti itu?" Kinan berusaha mendatarkan suaranya. Supaya Adrian tidak terlalu berharap bahwa Kinan akan mengkhawatirkan kepergiannya.

"Hemmh...aq blom cerita ya, kalo rumah tangga orang tuaq menjelang kehancuran?" suara Adrian tertahan, seperti tercekat di tenggorokan.

Gimana mau tau, baca sms kamu aja males. pikir Kinan. Eh,tapi maksudnya...Divorce??
Kinan mengubah arah pandangannya, yang sedari tadi membuang muka dari laki-laki itu, jadi menatap Adrian bulat-bulat. Memastikan dia tidak salah dengar.

Dan Adrian mulai menceritakan kondisi keluarganya. Kinan menjaga sikapnya, agar tetap tidak terkesan 'terlalu peduli' dengan cerita Adrian. Tapi rencana perceraian orang tua Adrian mau nggak mau membuat dia simpati juga.

"Kamu juga seneng kan, Kinan...Karena ga harus melihatku lagi?"

Pertanyaan jebakan.

"Yaa...yaa, nggak segitunya juga sih. Aku emang menghindar dari kamu, tapi bukan berarti aku membenci kamu kok.." Kinan terbata-bata.

Nah,loo...kenapa jadi kontras dengan hatinya gini??

Adrian langsung turun dari kursi kayu dan bersimpuh di depan Kinan. Tangannya dijulurkan.
"Eh, mau apa kamu?" Kinan waspada. Spontan menarik tangannya kebelakang tubuhnya.

"Makasih ya Kin, kamu masih peduli sama aq. Semenjak kaluargaku bermasalah, aku udah kehilangan kepercayaan bahwa masih ada yang oeduli sama aq. Ayahku meninggalkan kami karena wanita lain, ibuku yang sudah sangat lelah memutuskan untuk menggugatnya untuk bercerai, tanpa memikirkan bagaimana perasaan anak2nya"

Merasa tidak nyaman dengan posisi seperti ini, Kinan menggeser tubuhnya menjauh dari hadapan Adrian, karena tubuh mereka berhadapan dengan jarak yang tak lagi jauh.

"Emm..yauda...Aq nggak tau bisa bantu apa. Yang jelas, sebagai temen kamu, aq cuma mengingatkanmu untuk bersabar. Aq yakin, ibu kamu, yang kulihat disini sebagai 'korban' bukannya benar2 tak memperdulikan kamu da yang lainnya, wanita itu pasti akan selalu mengedepankan perasaannya dan orang2 di sekelilingnya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Khusnudzon aja, mungkin ini yang terbaik. Kalo mau dipertahankan juga kasian ibu kamu, kan? tersiksa batinnya. Tapi kamu juga jangan membenci ayah kamu, mungkin beliau khilaf. Bagaimanapun lebih baik menikah lagi daripada terjadi perzinaan.." Kinan memelankan kalimatnya terakhir, takut menyinggung lawan bicaranya itu.

Adrian tersenyum kecut.
"Aq uda nyangka kamu bakalan ngomong seperti itu, Kin. Kamu selalu mengajarkanku untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang positif. Itu yang aq salut dari kamu. Tapi maaf, mungkin aq blum bisa sesempurna itu menilai ujian ini. Bimbing aq terus ya Kin?"

Lahh, kok...?? jangan2 salah paham orang ini!, Kinan terdiam, tapi pikirannya protes.

"Hemm...mesti sabar ya Kin? Okelah, aq akan sabar, Insya Allah...sesabar aq menunggu kamu. 7 tahun itu bukan waktu yang sedikit lho, Kinanti. Kamu mau sampai kapan menguji kesabaranku?" goda Adrian.

Kinan berjengit dari kursinya. Merasa ini benar2 tak nyaman.
"Jangan berpikir yang aneh2! Jangan berharap banyak ya...Aku, aku..cuma teman kamu disini" Kinan salah tingkah. Merasa menyesal menasehati laki-laki itu barusan.

"Hahaha, Kinanti..Kinanti...aq suka lihat kamu salah tinglah gini. Aq becanda aja kok. Aq juga ga maksa kamu sekarang. Kamu masih punya tanggungan lulus kan? Itu aku sudah tau. Makanya, sembari menunggumu lulus, aku berkarir dulu. Ok, tunggu aku tahun depan ya! See you! " Adrian menyalakan motornya, dan melaju bersama suara deruman motor yang semakin lama semakin hilang.

Kinan menghela napas panjang. Kenapa seperti ini, Yaa Allah...??

"Kurang apalagi sih, dari Adrian? dia sudah cukup sabar mnunggumu, lho Kin.." Suara Hilda mendengung2 lagi di telinganya.

Ahh! Dia itu sudah membuat Kinan trauma. Cinta pertama yang menyakitkan. Bukan untuk Kinan, tapi orang tuanya. Yang tak pernah sedikitpun dibantah ucapannya oleh Kinan. Yang sangat dia cintai dan hormati. Yang menjunjugnya sudah menjadi kewajibannya setelah Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia penyebab untuk pertama kalinya satu-satu ibu yang Kinan sayangi menangisi karena pemberontakan Kinan. Dia penyebab ayah Kinan, laki-laki paling sabar dalam hidupnya, menjadi merah mukanya menahan amarah karena tak percaya putri kesayangannya telah menghancurkan kepercayaannya. Dia yeng membuat Kinan merasa sangat bersalah karena telah memutuskan untuk berpacaran dan mengabaikan nasehat2 orang tuanya. Dia itu Adrian.

Bukan hanya itu. Kenyataan yang membuka mata Kinan membuatnya tak sekedar illfeel tapi tlah mulai membenci Adrian. Kebohongan demi kebohongannya. Janji2 palsunya. Gila! Kinan jadi tak habis pikir bagaimana bisa dia jatuh hati pada laki-laki itu!

Astaghfirullahaladziim...
Kinan berusaha menguasai dirinya dari bisikan iblis yang mengomporinya. Adrian juga manusia biasa. Dia bisa khilaf. Kinan tak ingin terlalu membencinya kini. Meski ada sedikit keraguan tentang orisinalitas gambaran keluarganya saat ini. Tapi Kinan tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa dia iba. Adrian adalah teman lamanya. Dia masih menyayanginya. Sayang karena Allah. KArena dia seorang muslim juga. Bagaimanapun, dia ingin Adrian berubah. Bukan untuk Kinan, tapi untuk dirinya sendiri.

Ponselnya bergetar lagi. Ovy lagi.
"Kak, maafin aq yaa... :-("

Kinan membalas,"Iya. Udah gpp. Lain kali jgn diulang ya sayang.. Km tau kn adrian bagaimana, dan bagaimana juga kakak sama dia?"

Tak lama Ovy membalas lagi, "Iyaa...maaf :-( Eh, Kak...Kak adrian sms lagi nie..ktanya 'haduuh, perjalanannya lama tapi ga imbang sama waktu ktemuannya', hihihi...pgen tak sukurin aja tu kak, tapi jgn dehh...enaknya dibales apa ya kak?"

Kinan menghela napas sekali lagi. Dasar Abege!, rutuknya. Dia harus menyadari bahwa adiknya masih 15 tahun dan akan sangat tertarik dengan cerita2 picisan semacam ini. Bagi Kinan yang sudah beranjak kepala dua, hal seperti ini bukan lagi hiburan, malah jadi beban pikiran yang kadang masih saja menghantuinya.
Kinan memutuskan untuk kali ini tidak membalas sms terakhir dari adik semata wayangnya. Baginya sudah cukup kejadian pagi ini membuat dia akan sulit membangun mood dia seharian.

Hufft...sudahlah Kin, Adrian itu bagian dari masa lalumu. Bagaimanapun kamu lari memungkirinya, dia tetap saja pernah hadir dalam hidupmu. Tapi yang lalu biarlah berlalu. Dan kisah baru sudah menantimu...

Kinan mengambil handuknya. Berharap siraman air yang dipakainya mandi itu mampu melunturkan kegalauannya pagi ini.

Senin, 09 Januari 2012

Yang Terbaik Bagimu...



Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak

Reff:
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu

Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati


Minggu, 08 Januari 2012

NIce quotes...#2

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yg tegak di puncak bukit,Jadilah belukar,tetapi belukar yang baik,yg tumbuh di tepi danau,Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,jadilah saja rumput,tetapi rumput yg memperkuat tanggul pinggiran jalan,Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya,jadilah saja jalan kecil,tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air.

Pada dasarnya manusia itu diciptakan dengan sejuta potensi. Namun, Einstein saja mengatakan bahwa, kebanyakan manusia hanya memanfaatkan 10% dari kekuatan otaknya. Bayangkan jika kita mampu memanfaatkan lebih banyak potensi kita! Mulailah dengan mensyukuri apa yg kita miliki. Merasa kurang itu boleh, jika konstruktif. Karna manusia itu makhluk yg senantiasa berproses, belajar. Tapi jika perasaan kurang itu hanya berujung pada rasa iri berlebihan dan menumbuhkan benci. Tepis rasa itu dan berpuas dirilah dgn apa yg kamu miliki saat ini. Alhamdulillah...

Bagaimanapun kondisinya, dimanapun tempatnya, teruslah memposisikan diri menjai bagian yg konstruktif, membantu dgn ap yg kita bisa lakukan, jikalau memang tak ada yg bisa diusahakan (dgn tenaga, pikiran, dll), bantulah dengan dukungan moril dan doa yg ikhlas untuk hasil yg terbaik.

Jika ada orang yang senantiasa menyiksa diri dengan memaki dirinya sendiri, menganggap dirinya tak berguna. Ingatlah akan ancaman Allah ttg orang yang ingkar nikmat. Na'udzubillah...

Selasa, 03 Januari 2012

Jingga di Penghujung Senja




"Dasar lu anak kagak tau diuntung...uda baek gue mau ngurusin anak2 bandel macam lu berdua, giliran disuruh kerja aja malesnya kgak ketulungan. Udah, pergi aja lu sono yang jauuh...kagak usah ngeliatin batang idung lu berdua lagi ke gue. Pergiii!!!" terdengar suara lengkingan tinggi berkepanjangan dari ujung perkampungan kumuh di sudut kota metropolitan, Jakarta.


Dua orang gadis berusia 8 dan 6 tahun itu tengah berjalan terseok-seok menyusuri pinggiran kota Jakarta. Kata orang kejamnya ibu tiri tak lebih kejam daripada kota Jakarta. Tapi dalam hati kedua bocah itu saat ini memanjatkan doa, bahwa ungkapan itu tidak benar. Mereka masih berharap, ibu kota ini masih menyimpan iba pada anak piatu yang baru saja terusir dari rumah mereka sendiri itu.
Salah seorang gadis yang lebih muda itu berhenti dari perjalanannya. Sang kakak ikut berhenti. "Jingga kenapa?"
"Jingga capek, kak...sampai kapan sih kita mau jalan kaki begini?" keluh si adik.
"Sampai kita ketemu tempat berteduh, sayang... Jingga masih kuat kan?" Si gadis sulung itu meletakkan tangannya di kepala adiknya.
"Jingga lapar kak..." kini si adik mulai merengek, memegangi perutnya.
Sang kakak yang sebenarnya merasakan hal yang sama, meraih kedua pundak adik semata wayangnya. "Sabar ya, sayang...sebentar lagi. Itu, kamu lihat ada pertokoan kan? kita istirahat disana, ya? Kakak janji akan cari makan setelah kita bisa istirahat disana. Setuju?"
Jingga mengangguk lemah.


Si gadis sulung yang bernama Senja itu memunguti karton2 besar yang ia temukan di depan teras toko elektronik tempat mereka berteduh. Meratakannya, menggelarnya untuk istirahat mereka berdua yang telah 3 jam berjalan tanpa tujuan dari rumah mereka sendiri.
Senja menidurkan adiknya di pangkuannya. Meninabobokkan adik kesayangannya seperti biasa yang ia lakukan di rumah. Hanya saja sekarang sedikit berbeda. Mereka tidak lagi berada di kamar yang meski sempit tapi nyaman. Tapi di emperan toko. Sudah bisa dipastikan, angin malam yang berhembus nanti akan dengan mudahnya menyelisip masuk melalui pori-pori kulit mereka. Bahkan jikalau nanti hujan, maka jelas mereka akan basah kuyup, tak mampu melindungi diri mereka dari guyuran air langit.
Ahh, tapi sudahlah. Yang nanti terjadi, terjadilah...toh belum pasti juga itu terjadi. Yang pasti sekarang rasa lelah yang amat sangat, menyergap, membuat mata Jingga berat dan menutup meninggalkan malam. Tak perduli lolongan anjing penjaga toko emas seberang jalan mengusik mereka. Jingga sudah asik melanglang buana dalam mimpinya.

Sementara Senja yang duduk bersandar pada tembok toko elektronik itu tak juga dapat memejamkan matanya. Bukan suara anjing besar yang menyalak itu yang mengganggu pikirannya. Tapi bayangan wajah seram ibu tirinyalah yang menghantui relung pikirannya.


"Babe mau kawin lagi. Lu setuju kagak?" tanya laki-laki separuh baya yang tertulis namanya di akta kelahiran Senja dan Jingga itu.
Senja diam. Tak mampu membantah, hanya saja ada tolakan halus di dalam dadanya. "Kenapa, Be?"
"Lu kagak tau aje...hidup sendiri tanpa Nyak lu itu bukannya gampang. Gue bukannya berat ngurusin lu sama adek lu. Tapi, rumah ini sepi kalo kagak ada perempuan yang dampingi babe, juga ngerawat lu berdua."terang laki-laki itu sambil menghirup kreteknya.
Senja enggan berlama-lama di teras kecil rumahnya itu. Hatinya tak lagi nyaman dengan pembicaraan ini. Dia pamit masuk ke dalam rumahnya dengan takzim.
"Eh, lu...Lu mau kagak punya Nyak lagi?"
Senja berhenti melangkah, tapi tak juga berbalik menghadap ayahnya.
"Ini semua juga buat ngebahagiain elu berdua, bukan cuma buat babe" kilahnya.
Senja mengambi napas panjang, "Terserah babe" jawabnya pendek.
Dan laki-laki itu tersenyum puas atas jawaban putri sulungnya itu. Perduli setan apakah jawaban itu ikhlas atau tidak, yang jelas malam ini dia akan menemui perempuan yang ia janjikan kebahagiaan bersamanya itu.



"Kak...kak, kakak belum tidur?" Jingga membuyarka lamunan Senja.
"Belum. Kamu..." Senja menghentikan kalimatnya karena tak mau mengingatkan lagi bahwa perut mereka memang kosong seharian ini. "Kamu kenapa bangun?" Senja mengalihkan pertanyaan.
"Jingga inget Nyak, kak... Kira-kira, kenapa ya Allah ngambil nyak dari kita? Allah marah sama kita? Apa Allah nggak sayang sama Nyak?" tanya gadis 6 tahun itu lugu.
"Justru, Allah sayang banget sama Nyak, makanya Allah ambil Nyak duluan. Allah pengen lindungi Nyak dari susahnya hidup" terangnya bijak.
"Tapi Allah kan ga sayang sama kita. Nyatanya, Allah ngasih nyak baru yang galaknya minta ampun. Nih, Jingga kemarin disambit kemoceng sama dia. Ugghhh...sakit,kak" Jingga meratap.
"Sabar ya jingga. Yang penting kan sekarang kita udah nggak disakitin lagi sama Nyak Tiwi. Udah, jangan punya pikiran jelek sama Allah. Nggak baek"
"Kak, Nyak ada dimana ya sekarang? Hidupnya enak nggak?"
Senja menghela napas. Bingung mesti seperti apa menjelaskannya.
"Nyak di tempat enak sekarang. Tempat yang kita nggak bisa liat..."mata Senja menerawang. Menembus pekatnya langit malam. Sesekali menarik napas dalam. Dia membayangkan, bagaimana kalau ayah mereka tahu putrinya tak lagi ada dirumah? Marah kah pada istri keduanya? Atau diam saja saat istrinya itu berkilah putrinyalah yang tak bisa diatur. Kemungkinan kedua inilah yang paling sering membayangi pikirannya. Sepertinya ayah mereka lebih sayang pada istrinya daripada 2 buah hati titipan Ilahi ini. Dan itu cukup membuat dada Senja sesak, dan dia pun mulai terisak dalam diam.


"Heh! anak-anak gelandangan! ngapain lu ngotorin teras gue?? pergi sono lu! bisa2 pelanggan gue jadi males masuk gara-gara lu berdua. Gih, sono jauh-jauh..." si empunya took datang dan langsung mengusir mereka.
Senja yang terbangun karena goncangan keras di bahunya segera tersadar. Dia tepuk2 pipi adiknya, membangunkannya. Jingga masih mengerjap-kerjapkan matanya, tapi segera berdiri karena rupanya si pemilik toko sudah datang kembali dengan sapu di tangannya. Mereka lari tunggang-langgang, seperti kucing liar yang terpergok mencuri ikan asin.

Hari kedua, setelah terusirnya kakak beradik itu dari rumah mereka sendiri.
Kini mereka berada di tempat yg lebih nyaman. Setidaknya tidak di pelataran toko elektronik yang pemiliknya tak bisa lagi memanusiakan mereka. Di teras bekas bioskop di pusat tempat kuliner di kota besar itu. Perut mereka pun tak lagi kosong. Senja menemukan beberapa makanan sisa di tumpukan karton pizza di ujung jalan itu. Dan tak ada yang bisa mereka lakukan lagi, selain membiarkan hari lewat begitu saja. Hanya berharap mereka bisa melalui hari ini, besok dan seterusnya bersama. Ya, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kejamnya hidup ini.


Senja terbangun, karena menyadari adiknya tak lagi nyenyak dalam tidurnya.
“Babe…sakiit” rintih si kecil Jingga.
“Jingga kenapa? Kamu mimpi buruk apa?” Senja cemas. Ia membetulkan posisi kepala adiknya dalam pangkuannya. Masya Allah! Badannya panas sekali! “Jingga, jingga…sadar sayang. Apanya yang sakit?”. Ia panik. Bingung dengan apa yg harus dilakukan. Wajah jingga di depannya sudah sangat pucat. Bibirnya membiru. Tangannya dingin. Pelan ia membuka kelopak mata adiknya, bola hitamnya naik. Adiknya sekarat! Dia hamper menangis, ingin teriak, tapi sepertinya tidak akan membantu.
Dia letakkan kepala adiknya di atas karton yang mereka pakai untuk alas. Sedetik kemudian Senja sudah lari, meninggalkan adiknya untuk mencari bantuan.
“Pak, pak..adik saya sakit keras. Bisa bawa ke rumah sakit?” pintanya pada seorang tukang ojek yang tampak sendiri di pangkalannya.
“Ahh, lu mana ada duit buat bayarin gw. Klo sakit, noh…di depan ada apotik, lu minta obat aj kesana. RS mana mau nrima gembel kayak lu?” maki si tukang ojek.
Jingga melihat yg ditunjuk bapak itu. Di seberang jalan memang ada apotik, mungkin mereka mau berbaik hati.
“Mbak, ada obat untuk demam tinggi, wajah pucat, badan menggigil?”tanyanya masih dalam kepanikan.
“untuk usia berapa dik?” Tanya karyawan apotik itu kembali.
“6 tahun”
Tak lama, si mbak mengambil obat dan mulai menuliskan aturan minumnya. “25 ribu,dik…”
Senja bingung, karena memang tak ada uang sepeser pun di kantung bajunya.
“Tapi mbak, saya nggak punya uang?”
“Yg bener aja kamu dik. Masa beli obat nggak pake uang?” si mbak mulai gusar.
“Maaf, mbak..tapi adik saya sekarat. Tolong…” Senja mulai menangis. Tapi karyawan itu tak bergeming.
“Maaf juga dik, tapi aku Cuma kerja disini. Sama-sama orang susah. Coba kamu minta dikasihani orang-orang gedhe diluar sana, kali aja ada yg mau belikan obat buat adikmu. Maaf, aku juga banyak kerjaan” usirnya dengan halus.
Senja mengerti. Dia segera menghilang dari pandangan karyawan itu. Di seberang jalan, dia berpikir keras. Tapi bagaimana pun dipaksa, dia bingung harus bagaimana untuk mendapatkan uang segera. Dia mulai mengemis pada orang-orang bermobil di parkiran sebuah food-court di ujung jalan. Tapi jangankan member, menggubrisnya pun tidak. Yaa, Allah…bayangan akan kehilangan orang terkasihnya kembali hadir dalam matanya. Jangan sekarang, Tuhan. Jangan adik saya…bisiknya.
Sementara itu, seorang ibu dengan tas terbuka di bahunya masih sibuk menenangkan anaknya yang merengek minta donat. “Iya, iya sayang…mama mau ambil dompet dulu di mobil ya? Jangan nakal dong”. Tapi anak laki-laki 4 tahun itu nggak mau tahu.


Mata senja tertumbuk pada benda berwarna merah dalam tas ibu-ibu kaya itu. Ada perang berkecamuk dalam otaknya. Pak kyai di kampungnya selalu mengajarka untuk jujur dan jadi anak yang sholehah. Tapi adiknya sedang bergulat dengan maut disana, senja tak bisa merelakan adik satu-satunya itu pergi. Maafkan aku yaa Allah…
“Eh, jambreett…copeett…!!!” teriak si ibu histeris saat tangan kecil Senja meraih dompet dalam tasnya yang terbuka.
Orang-orang di sekelilingnya rebut, tengak-tengok lalu pandangan mereka tertuju pada satu arah. Anak perempuan yang lari membawa dompet merah di tangannya.
Bertahan, Jingga…jangan mati! . Senja sudah tak perduli berapa puluh orang dewasa mengejarnya. Yang ada di kepalanya adalah sesegera mungkin membawa adiknya yang sekarat ke dokter yang bisa menyembuhkannya. Jalanan ramai bukan halangan untuk dia menerobos motor dan mobil yang memadatinya.

BRAKK!!!

Kejadian itu sangat cepat. Sebuah benda keras menghantam tubuh kurus Senja. Senja terhempas di jalan raya. Sakiit… tapi dompet itu masih kuat di genggamannya.
Tuhan, ambil saya saja…
Matanya masih melihat genangan merah di atas aspal. Kepalanya menjadi berat. Sepertinya terantuk badan trotoar saat badannya mulai limbung kebawah. Riuh-rendah orang-orang di sekitarnya juga semakin tak terdengar. Dalam pandangannya semua berubah menjadi gelap. Pekat.
Jingga, maaf…


Pada waktu yg sama, di teras bekas bioskop di tepi jalan, seorang gadis berumur 6 tahun tertatih-tatih bangkit dari posisi tidurnya. Pandangannya kabur, mencari-cari sosok kakak yang biasanya selalu ada di sisinya. Bibirnya bergetar menyebut nama itu. “Kakak…kak senja dimana?”. Dengan berpegangan pagar, tubuh lemah itu mulai meniti pinggir jalan raya itu. Mencari saudaranya yang berjanji kembali untuk mengobati sakitnya saat ini.