Selasa, 03 Januari 2012

Jingga di Penghujung Senja




"Dasar lu anak kagak tau diuntung...uda baek gue mau ngurusin anak2 bandel macam lu berdua, giliran disuruh kerja aja malesnya kgak ketulungan. Udah, pergi aja lu sono yang jauuh...kagak usah ngeliatin batang idung lu berdua lagi ke gue. Pergiii!!!" terdengar suara lengkingan tinggi berkepanjangan dari ujung perkampungan kumuh di sudut kota metropolitan, Jakarta.


Dua orang gadis berusia 8 dan 6 tahun itu tengah berjalan terseok-seok menyusuri pinggiran kota Jakarta. Kata orang kejamnya ibu tiri tak lebih kejam daripada kota Jakarta. Tapi dalam hati kedua bocah itu saat ini memanjatkan doa, bahwa ungkapan itu tidak benar. Mereka masih berharap, ibu kota ini masih menyimpan iba pada anak piatu yang baru saja terusir dari rumah mereka sendiri itu.
Salah seorang gadis yang lebih muda itu berhenti dari perjalanannya. Sang kakak ikut berhenti. "Jingga kenapa?"
"Jingga capek, kak...sampai kapan sih kita mau jalan kaki begini?" keluh si adik.
"Sampai kita ketemu tempat berteduh, sayang... Jingga masih kuat kan?" Si gadis sulung itu meletakkan tangannya di kepala adiknya.
"Jingga lapar kak..." kini si adik mulai merengek, memegangi perutnya.
Sang kakak yang sebenarnya merasakan hal yang sama, meraih kedua pundak adik semata wayangnya. "Sabar ya, sayang...sebentar lagi. Itu, kamu lihat ada pertokoan kan? kita istirahat disana, ya? Kakak janji akan cari makan setelah kita bisa istirahat disana. Setuju?"
Jingga mengangguk lemah.


Si gadis sulung yang bernama Senja itu memunguti karton2 besar yang ia temukan di depan teras toko elektronik tempat mereka berteduh. Meratakannya, menggelarnya untuk istirahat mereka berdua yang telah 3 jam berjalan tanpa tujuan dari rumah mereka sendiri.
Senja menidurkan adiknya di pangkuannya. Meninabobokkan adik kesayangannya seperti biasa yang ia lakukan di rumah. Hanya saja sekarang sedikit berbeda. Mereka tidak lagi berada di kamar yang meski sempit tapi nyaman. Tapi di emperan toko. Sudah bisa dipastikan, angin malam yang berhembus nanti akan dengan mudahnya menyelisip masuk melalui pori-pori kulit mereka. Bahkan jikalau nanti hujan, maka jelas mereka akan basah kuyup, tak mampu melindungi diri mereka dari guyuran air langit.
Ahh, tapi sudahlah. Yang nanti terjadi, terjadilah...toh belum pasti juga itu terjadi. Yang pasti sekarang rasa lelah yang amat sangat, menyergap, membuat mata Jingga berat dan menutup meninggalkan malam. Tak perduli lolongan anjing penjaga toko emas seberang jalan mengusik mereka. Jingga sudah asik melanglang buana dalam mimpinya.

Sementara Senja yang duduk bersandar pada tembok toko elektronik itu tak juga dapat memejamkan matanya. Bukan suara anjing besar yang menyalak itu yang mengganggu pikirannya. Tapi bayangan wajah seram ibu tirinyalah yang menghantui relung pikirannya.


"Babe mau kawin lagi. Lu setuju kagak?" tanya laki-laki separuh baya yang tertulis namanya di akta kelahiran Senja dan Jingga itu.
Senja diam. Tak mampu membantah, hanya saja ada tolakan halus di dalam dadanya. "Kenapa, Be?"
"Lu kagak tau aje...hidup sendiri tanpa Nyak lu itu bukannya gampang. Gue bukannya berat ngurusin lu sama adek lu. Tapi, rumah ini sepi kalo kagak ada perempuan yang dampingi babe, juga ngerawat lu berdua."terang laki-laki itu sambil menghirup kreteknya.
Senja enggan berlama-lama di teras kecil rumahnya itu. Hatinya tak lagi nyaman dengan pembicaraan ini. Dia pamit masuk ke dalam rumahnya dengan takzim.
"Eh, lu...Lu mau kagak punya Nyak lagi?"
Senja berhenti melangkah, tapi tak juga berbalik menghadap ayahnya.
"Ini semua juga buat ngebahagiain elu berdua, bukan cuma buat babe" kilahnya.
Senja mengambi napas panjang, "Terserah babe" jawabnya pendek.
Dan laki-laki itu tersenyum puas atas jawaban putri sulungnya itu. Perduli setan apakah jawaban itu ikhlas atau tidak, yang jelas malam ini dia akan menemui perempuan yang ia janjikan kebahagiaan bersamanya itu.



"Kak...kak, kakak belum tidur?" Jingga membuyarka lamunan Senja.
"Belum. Kamu..." Senja menghentikan kalimatnya karena tak mau mengingatkan lagi bahwa perut mereka memang kosong seharian ini. "Kamu kenapa bangun?" Senja mengalihkan pertanyaan.
"Jingga inget Nyak, kak... Kira-kira, kenapa ya Allah ngambil nyak dari kita? Allah marah sama kita? Apa Allah nggak sayang sama Nyak?" tanya gadis 6 tahun itu lugu.
"Justru, Allah sayang banget sama Nyak, makanya Allah ambil Nyak duluan. Allah pengen lindungi Nyak dari susahnya hidup" terangnya bijak.
"Tapi Allah kan ga sayang sama kita. Nyatanya, Allah ngasih nyak baru yang galaknya minta ampun. Nih, Jingga kemarin disambit kemoceng sama dia. Ugghhh...sakit,kak" Jingga meratap.
"Sabar ya jingga. Yang penting kan sekarang kita udah nggak disakitin lagi sama Nyak Tiwi. Udah, jangan punya pikiran jelek sama Allah. Nggak baek"
"Kak, Nyak ada dimana ya sekarang? Hidupnya enak nggak?"
Senja menghela napas. Bingung mesti seperti apa menjelaskannya.
"Nyak di tempat enak sekarang. Tempat yang kita nggak bisa liat..."mata Senja menerawang. Menembus pekatnya langit malam. Sesekali menarik napas dalam. Dia membayangkan, bagaimana kalau ayah mereka tahu putrinya tak lagi ada dirumah? Marah kah pada istri keduanya? Atau diam saja saat istrinya itu berkilah putrinyalah yang tak bisa diatur. Kemungkinan kedua inilah yang paling sering membayangi pikirannya. Sepertinya ayah mereka lebih sayang pada istrinya daripada 2 buah hati titipan Ilahi ini. Dan itu cukup membuat dada Senja sesak, dan dia pun mulai terisak dalam diam.


"Heh! anak-anak gelandangan! ngapain lu ngotorin teras gue?? pergi sono lu! bisa2 pelanggan gue jadi males masuk gara-gara lu berdua. Gih, sono jauh-jauh..." si empunya took datang dan langsung mengusir mereka.
Senja yang terbangun karena goncangan keras di bahunya segera tersadar. Dia tepuk2 pipi adiknya, membangunkannya. Jingga masih mengerjap-kerjapkan matanya, tapi segera berdiri karena rupanya si pemilik toko sudah datang kembali dengan sapu di tangannya. Mereka lari tunggang-langgang, seperti kucing liar yang terpergok mencuri ikan asin.

Hari kedua, setelah terusirnya kakak beradik itu dari rumah mereka sendiri.
Kini mereka berada di tempat yg lebih nyaman. Setidaknya tidak di pelataran toko elektronik yang pemiliknya tak bisa lagi memanusiakan mereka. Di teras bekas bioskop di pusat tempat kuliner di kota besar itu. Perut mereka pun tak lagi kosong. Senja menemukan beberapa makanan sisa di tumpukan karton pizza di ujung jalan itu. Dan tak ada yang bisa mereka lakukan lagi, selain membiarkan hari lewat begitu saja. Hanya berharap mereka bisa melalui hari ini, besok dan seterusnya bersama. Ya, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kejamnya hidup ini.


Senja terbangun, karena menyadari adiknya tak lagi nyenyak dalam tidurnya.
“Babe…sakiit” rintih si kecil Jingga.
“Jingga kenapa? Kamu mimpi buruk apa?” Senja cemas. Ia membetulkan posisi kepala adiknya dalam pangkuannya. Masya Allah! Badannya panas sekali! “Jingga, jingga…sadar sayang. Apanya yang sakit?”. Ia panik. Bingung dengan apa yg harus dilakukan. Wajah jingga di depannya sudah sangat pucat. Bibirnya membiru. Tangannya dingin. Pelan ia membuka kelopak mata adiknya, bola hitamnya naik. Adiknya sekarat! Dia hamper menangis, ingin teriak, tapi sepertinya tidak akan membantu.
Dia letakkan kepala adiknya di atas karton yang mereka pakai untuk alas. Sedetik kemudian Senja sudah lari, meninggalkan adiknya untuk mencari bantuan.
“Pak, pak..adik saya sakit keras. Bisa bawa ke rumah sakit?” pintanya pada seorang tukang ojek yang tampak sendiri di pangkalannya.
“Ahh, lu mana ada duit buat bayarin gw. Klo sakit, noh…di depan ada apotik, lu minta obat aj kesana. RS mana mau nrima gembel kayak lu?” maki si tukang ojek.
Jingga melihat yg ditunjuk bapak itu. Di seberang jalan memang ada apotik, mungkin mereka mau berbaik hati.
“Mbak, ada obat untuk demam tinggi, wajah pucat, badan menggigil?”tanyanya masih dalam kepanikan.
“untuk usia berapa dik?” Tanya karyawan apotik itu kembali.
“6 tahun”
Tak lama, si mbak mengambil obat dan mulai menuliskan aturan minumnya. “25 ribu,dik…”
Senja bingung, karena memang tak ada uang sepeser pun di kantung bajunya.
“Tapi mbak, saya nggak punya uang?”
“Yg bener aja kamu dik. Masa beli obat nggak pake uang?” si mbak mulai gusar.
“Maaf, mbak..tapi adik saya sekarat. Tolong…” Senja mulai menangis. Tapi karyawan itu tak bergeming.
“Maaf juga dik, tapi aku Cuma kerja disini. Sama-sama orang susah. Coba kamu minta dikasihani orang-orang gedhe diluar sana, kali aja ada yg mau belikan obat buat adikmu. Maaf, aku juga banyak kerjaan” usirnya dengan halus.
Senja mengerti. Dia segera menghilang dari pandangan karyawan itu. Di seberang jalan, dia berpikir keras. Tapi bagaimana pun dipaksa, dia bingung harus bagaimana untuk mendapatkan uang segera. Dia mulai mengemis pada orang-orang bermobil di parkiran sebuah food-court di ujung jalan. Tapi jangankan member, menggubrisnya pun tidak. Yaa, Allah…bayangan akan kehilangan orang terkasihnya kembali hadir dalam matanya. Jangan sekarang, Tuhan. Jangan adik saya…bisiknya.
Sementara itu, seorang ibu dengan tas terbuka di bahunya masih sibuk menenangkan anaknya yang merengek minta donat. “Iya, iya sayang…mama mau ambil dompet dulu di mobil ya? Jangan nakal dong”. Tapi anak laki-laki 4 tahun itu nggak mau tahu.


Mata senja tertumbuk pada benda berwarna merah dalam tas ibu-ibu kaya itu. Ada perang berkecamuk dalam otaknya. Pak kyai di kampungnya selalu mengajarka untuk jujur dan jadi anak yang sholehah. Tapi adiknya sedang bergulat dengan maut disana, senja tak bisa merelakan adik satu-satunya itu pergi. Maafkan aku yaa Allah…
“Eh, jambreett…copeett…!!!” teriak si ibu histeris saat tangan kecil Senja meraih dompet dalam tasnya yang terbuka.
Orang-orang di sekelilingnya rebut, tengak-tengok lalu pandangan mereka tertuju pada satu arah. Anak perempuan yang lari membawa dompet merah di tangannya.
Bertahan, Jingga…jangan mati! . Senja sudah tak perduli berapa puluh orang dewasa mengejarnya. Yang ada di kepalanya adalah sesegera mungkin membawa adiknya yang sekarat ke dokter yang bisa menyembuhkannya. Jalanan ramai bukan halangan untuk dia menerobos motor dan mobil yang memadatinya.

BRAKK!!!

Kejadian itu sangat cepat. Sebuah benda keras menghantam tubuh kurus Senja. Senja terhempas di jalan raya. Sakiit… tapi dompet itu masih kuat di genggamannya.
Tuhan, ambil saya saja…
Matanya masih melihat genangan merah di atas aspal. Kepalanya menjadi berat. Sepertinya terantuk badan trotoar saat badannya mulai limbung kebawah. Riuh-rendah orang-orang di sekitarnya juga semakin tak terdengar. Dalam pandangannya semua berubah menjadi gelap. Pekat.
Jingga, maaf…


Pada waktu yg sama, di teras bekas bioskop di tepi jalan, seorang gadis berumur 6 tahun tertatih-tatih bangkit dari posisi tidurnya. Pandangannya kabur, mencari-cari sosok kakak yang biasanya selalu ada di sisinya. Bibirnya bergetar menyebut nama itu. “Kakak…kak senja dimana?”. Dengan berpegangan pagar, tubuh lemah itu mulai meniti pinggir jalan raya itu. Mencari saudaranya yang berjanji kembali untuk mengobati sakitnya saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar