Jumat, 30 Maret 2012

Pak Polisi


Sudah tiga kali Indra membolak-balik biodata yang cuma 2 lembar folio itu di tangannya.
Sekali lagi dia menajamkan pandangannya. Ia betulkan letak kacamatanya yang tidak bermasalah. Ia eja sekali lagi.

Pekerjaan orang tua : Polisi.

Indra mendesah pelan. Kenapa harus polisi?

Ia ulang baca biodata itu secara lengkap sekali lagi. Keempat kalinya. Tidak ada masalah untuk yang lain, ia rasa. Track record anak ini bagus, setidaknya itu yang banyak Indra dengar dari rekan-rekan satu forumnya. Hmm... Polisi.

0o0

Berawal dari kegelisahannya karena berulang kali ditanya orang tuanya. "Nak, kapan kamu nikah?". Indra bertanya pada dirinya sendiri. Merasa tak menemukan jawaban, ia pasrahkan pada Tuhannya. Dan dari 2 kali tanda yang ia lihat dalam mimpi. Nama itu akhirnya yang ia pilih.

Tak sesulit yang indra bayangkan sebelumnya. Setelah terdiam beberapa menit, gadis itu mengiyakan untuk melakukan 'proses' perkenalan dengannya. Tentu saja Indra tak memungkiri, untuk memencet rangkaian nomor HP gadis itu saja, ia gemetaran. Kalau saja Bang Rois, pembinanya tidak menguatkan niatnya, mungkin saja ia urung menghubungi gadis pilihannya itu.

0o0

Sebenarnya Indra tak ada masalah dengan apapun profesi orang tua gadis itu. Asal halal, itu saja cukup. Tapi rasanya, melihat 'cetakan'nya saja seperti itu, apa iya orang tuanya sama seperti polisi yang ia bayangkan?

Indra masih ingat, petuah kakeknya ketika ia hampir lulus SMA. "Kamu boleh jadi PNS apapun, asal bukan polisi!"

Bagi keluarga Indra, sudah banyak tinta merah yang sudah ditorehkan oleh oknum-oknum polisi yang tidak bertangguang jawab di rapor ingatan mereka. Mulai dari asal tilang (benar-benar asal-asalan!)yang kelihatan mencari-cari kesalahan, hingga yang terparah adalah asal tangkap!

Ya, paman Indra pernah dipenjara 3 minggu karena salah paham. Polisi mencurigainya sebagai penadah kendaraan curian. Padahal paman Indra hanya menerima titipan motor dari seseorang yang baru dikenalnya.
Memang akhirnya masalah itu selesai. Tapi perlu waktu yang lebih lama lagi untuk memulihkan nama baik keluarga Indra, apalagi kakek Indra adalah seorang yang disegani sebagai pemilik pondok pesantren di daerahnya.
Ditambah lagi, ada oknum yang meminta 'tebusan' yang tak masuk akal untuk memuluskan perkara paman Indra. Sudahlah, itu saja sudah membuat nama Polisi begitu jelek di meta keluarga Indra. Sampai-sampai setiap kali kena macet, ayah Indra selalu merutuk, "Ini polisi pada ngapain aja sih, jadi macet begini! makan gaji buta ya?".
Apalagi ibunya yang selalu mengomel saat melihat berita miring tentang kinerja polisi di negara ini. Segalanya. Apapun, rasanya tak ada yang benar tentang profesi ini.


Indra menarik napas dalam. Keluarganya 'saja' kan yang bermasalah? Baginya tidak. Indra tetap akan memenuhi janjinya untuk bersilaturrahim dengan keluarga gadis itu.

Ok, mantapkan langkah.
Bismillah...

0o0

Sepertinya bukan keputusan yang tepat mengajak si Enda dalam 'misi' penting ini. Padahal ia sudah memenuhi hak motor jadul ini. Bensin full. Mesin (sepertinya) oke. Tapi motor honda legenda keluaran tahun 2001 ini tak juga mau bersahabat dengan niatnya yang sudah bulat. Hufft. Indra harus bersabar mendorong motornya yang mogok. Padahal sedikit lagi, menurut alamat yang diberikan gadisnya itu, ia sudah akan sampai tujuan.

Indra dan Enda-nya telah sampai di desa kelahiran dan tempat dibesarkan si gadis. Indra tak menyangka akan sampai juga ia 'berpetualang' di daerah terpencil yang belum pernah ia dengar namanya itu.

Karena kepayahan mendorong motor, ia sandarkan Enda di batang pohon besar di pinggir jalan ini. sementara ia celingukan mencari bantuan. Sekedar bengkel kecil atau semacamnya. Menelpon si gadis? Ah, gengsi lah! Belum apa-apa bisa-bisa ia sudah dicap manja. Apalagi dia punya keturunan militer. Maka cepat-cepat Indra menghapus opsi paling konyol itu dalam kepalanya.

Belum lama Indra mencukupkan istirahatnya, seorang bapak mendatanginya. Dengan menaiki sepeda dan cangkul dipanggul di bahu kanannya, si bapak hati-hati memberhentikan kendaraannya di depan Indra beristirahat.

"Sedang apa, nak? Sepertinya ada masalah dengan motor kamu ya?" sapa bapak itu ramah.

"Emm, kurang tahu pak. Sedang malas saja motor ini saya ajak jalan-jalan. Manja." Ups! Entahlah. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Bapak berumur 50 tahunan itu terkekeh. "Kamu ini bisa saja. Lantas, mau kemana kamu? Sepertinya bukan anak daerah sini ya? Nyasar?"

"Wahh, jangan sampai lah pak saya nyasar, orang saya mau menjemput jodoh saya..."

Nah, loo..kelepasan lagi! Indra mengutuk mulutnya yang asal bicara.

"Anak siapa yang mau kamu jemput? Bapak hapal orang-orang daerah sini, barangkali bapak tahu rumah gadis yang kamu bicarakan.." Bapak itu membetulkan cangkul yang dipanggulnya.

"Saya mencari rumah Pak Suradi. Emm..yang polisi itu pak. Bapak kenal?" Indra juga tak mengerti kenapa lidahnya masih ragu menyebutkan profesi itu. Mungkin bayangan angker ayah gadis itu belum hilang juga dari benaknya.

Sudahlah. Ini cuma paranoid saja! Indra menenangkan diri. Toh, dia belum pernah sekalipun bertemu dengan orang tua gadis itu, membayangkannya saja baru sekarang.

"Ooh, pak suradi. Ya ya, bapak kenal... Tidak jauh lagi dari sini. Karena tidak mungkin meninggalkan motormu disini, lebih baik dibawa saja ke rumah bapak, nanti saya antar ke rumah beliau."

Belum lama Indra terbengong karena tawaran itu, Bapak itu berkata lagi "Ayo, sama-sama menuntun kendaraan manja. Sepeda ini juga sering ndak mau diajak jalan-jalan..."

Indra tertawa. Ternyata ramah sekali bapak ini.

Di sepanjang jalan, Indra menceritakan tentang keperluannya dengan gadis itu dan orang tuanya. Bapak itu menanggapinya dengan sangat baik. Sudah seperti sahabat lama saja mereka. Dan perasaan ini, yang Indra sendiri tak mampu mendefinisikannya, membuat Indra sangat terbuka menceritakan segalanya, termasuk keresahannya menemui calon 'orang tua kedua'nya itu. Begitu juga dengan si bapak, yang menceritakan kesehariannya selain di sawah. Ternyata bapak ini juga menjadi anggota takmir masjid di desa itu.

"Cuma seksi kebersihan saja kok..." bapak itu tertawa merendah. Namun bagi Indra, justru pekerjaan itulah ladang amal yang sering dianggap remeh dan tak banyak orang mau menerimanya.


Tak sampai setengah jam, Bapak yang Indra lupa tanyai namanya itu berhenti di sebuah rumah yang meskipun tak besar, tapi cukup terlihat 'beda' daripada rumah-rumah sebelumnya yang Indra lewati di desa itu.

"Silahkan mampir dulu nak. Pasti kamu capek, karena energi kita bukan hanya terkuras untuk menuntun 'kawan' manja kita ini, tapi habis juga karena kisah berepisode-episode yang kita ceritakan tadi"

Indra tertawa lagi.

"Sebentar, silahkan istirahat dulu di ruang tamu. Saya cuci kaki dulu, maklum dari sawah. Nanti ada anak saya yang mengantarkan teh buat nak Indra"

Sebelum Indra mengucapkan "tidak usah repot-repot" atau sekedar terima kasih, bapak itu sudah menghilang, masuk ke dalam rumah.

Bapak yang ramah. Seandainya saja orang tua yang akan ia temui sama ramahnya seperti itu. Ahh, bayangan angker itu berkelebat sekali lagi. Meskipun Indra dan bapak itu banyak bercerita di sepanjang jalan tadi, tapi bapak itu tak banyak bercerita tentang Pak Suradi yang katanya ia kenal.

Indra melirik jam tangannya. Sudah lewat 2 jam dari janjinya. Sekarang ia benar-benar khawatir akan kemarahan calon mertuanya itu.

Indra memberanikan diri pamit pada bapak yang baik itu. Tentunya bapak itu akan mengerti, bahwa Indra memang sedang menjalankan 'misi' penting, berhubungan dengan masa depannya. Indra tidak mau merepotkan bapak yang kelihatan lelah setelah seharian di sawah itu. Dia bisa menanyakan alamat gadisnya pada tetangga yang lain.

"Assalamu'alaikum" Indra melongokkan kepalanya kedalam ruang tamu yang kelihatan sepi.

Entah apa yang merasukinya, tanpa ada yang mengizinkan, ia nekat saja duduk didalam ruangan 4x4m itu. Toh, tadi sudah dipersilahkan.. Kata batinnya. Membela diri.

Matanya berpendar ke seluruh penjuru ruangan. Dan matanya terpaku pada sebuah foto yang terpajang cukup jelas di dinding ruang tamu itu.

Sebuah foto keluarga. Bapak itu bersama istri dan 3 anak gadisnya yang berpakaian batik rapi kecuali sang bapak yang berpakaian...POLISI! Dan lihat siapa gadis berjilbab hijau yang duduk ditengah2 foto itu. Dia gadis yang menjadi tujuannya ke desa ini.

Allahu Akbar!

Mendadak keringat yang keluar dari tubuh Indra yang semula hangat menjadi dingin. Kepalanya pening. Jantungnya berdegup tak karuan ritmenya. Indra mengulang-ulang kalimat istighfar untuk menenangkan hatinya.

Jadi bapak itu...??

0o0

Indra hanya mampu tersenyum pias menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Pak Suradi. Bapak yang telah menolngnya yang ternyata ayah pilihan hatinya.

"Yaa, bapak ya begini ini kalau sedang libur dinas. Mengurus sawah yang nanti jadi hak adiknya Sarah. Untuk biaya kuliahnya. Kalau Sarah kan sebentar lagi sudah ada kamu yang menanggung..." diakhiri tawa terbahak dari wajah berkumis lebat itu.

Huffhhh...Indra justru lega mendengar tawa lepas itu. Ternyata rencana Allah unik juga, ya?. Indra tak henti-hentinya berucap hamdallah dan takbir untuk merayakan kebahagiaan hatinya.

Dengan bangga akan ia ceritakan pada segenap keluarganya bahwa polisi tak sejelek yang mereka duga. Sosok sederhana yang juga tak kehilangan wibawanya meski tanpa seragam akan menjadi bahan obrolan hangat diantara pembicaraan keluarga Indra sore ini.

Yess! Alhamdulillah... Indra berteriak dalam hati.


#Fiksi#

Minggu, 25 Maret 2012

Mengejar Bayangan


Andien tak habis pikir, bagaimana dia harus menyakinkan abang satu-satunya itu untuk mulai membenahi dirinya. Saat itu, Andien yang sedang kalut menjawab tawaran menikah dari seorang rekan kerjanya, bertanya pada Andre, kakaknya.

“Bang…abang belum ingin menikah kah?” Tanya Andien hati-hati.

“Sudahlah, kau sudah tahu jawabanku.” Andre tidak juga memalingkan perhatiannya selain pada mesin-mesin motor yang sedang diotak-atiknya.

“Masih karena kak Della? Bang, sadarlah Bang… Kak Della sudah mau menikah dengan orang lain…” Andien menaikkan nada suaranya karena kalah bising dengan suara solder di tangan Andre.

Dziiiingg…. Suara lebih tenang ketika Andre memutuskan untuk mematikan mesin di tangannya, dan memilih untuk memerhatikan pertanyaan serius adik satu-satunya itu.

“Kamu nggak ngerti, Dien… Della itu satu. Dan satu-satunya.”
Andre beranjak bangun dan melepaskan kemeja lusuhnya yang sudah kehitaman terkena cipratan oli.

“Bang, cobalah berpikir realistis! Apa abang ingin menghancurkan hidup abang hanya karena satu wanita? Janganlah abang mengejar bayangan yang tak mungkin…”.

“Stop!” Andre mengacungkan telunjuknya sambil berteriak di depan muka Andien. “Kalau kamu mau menikah dengan Ryan, atau siapapun itu. Duluan sajalah..kenapa pula memusingkan abangmu ini. Yang mau menikah kan kamu!”

Mulai sengit. Dua orang keturunan batak karo ini sudah berdiri berhadapan. Andai saja bukan saudara sekandung, mungkin Andre sudah tak tahan mengayunkan tangannya ke muka Andien.
Andien meninggalkan Andre yang masih keras kepala. Dengan sengaja ia menendang kaleng peralatan abangnya, meninggalkan kesan marah dan kekesalan yang tertahan.

Andre mengepalkan tangannya dan meninju keras-keras ke udara.

0o0

Di kantor Andien tak mampu konsentrasi. Tumpukan resensi dan artikel di meja yang mesti ia edit sudah hampir menutupi tinggi kepalanya. Ryan yang meski tak satu divisi dengannya, menyadari hal itu, dan mengirimkan satu pesan singkat di nomor Andien.

Andien, maaf kalau mas Ryan lancang bertanya. Sepertinya Andien sedang kalut. Apa karena pertanyaan mas kemarin? Kalau iya, saya tidak akan mendesak Andien untuk segera menjawab. Pikirkanlah masak-masak. Tapi jangan abaikan pekerjaan, ya…

Triing… nada pesan masuk berbunyi di ponsel Andien. Sedikit enggan Andien membacanya. Alisnya terangkat saat ia baca 1 pesan diterima_ Mas Ryan.
Andien menarik napas dalam sebelum mengetik pesan balasan di nomor itu.
Saya sudah punya jawaban, mas. Hanya saja, sedikit ada yang mengganjal yang jadi beban pikiran.

Ponsel Andien berbunyi lagi. Kalau boleh tahu, apa masalahnya? Maaf, sekali lagi. Tapi ini kan tentang kita berdua. Jadi kalau saya bisa bantu menyelesaikan, saya usahakan. Tentang orang tua kah?

Bukan. Orang tua saya tidak keberatan. Karena menurut mereka, saya memang sudah cukup siap untuk membina kehidupan sendiri. Masalahnya ada pada abang saya. Hmm… Kalau mas ada waktu, silaturrahimlah ke rumah saya. Orang tua saya sudah menunggu.

Ryan di ujung ruangannya tersenyum simpul membaca kalimat terakhir dari pesan Andien. Tapi ia belum mampu menebak, apa gerangan yang membebani pikiran Andien. Ada apa dengan abangnya? Sepertinya memang sudah waktunya Ryan mengenal keluarga Andien lebih dekat. Dan ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Andien untuk menyatakan keseriusannya, meminang Andien, gadis yang menyita perhatiannya setahun terakhir.

0o0

Hari ini resepsi pernikahan Andien dan Ryan. Sebenarnya tak ada masalah berarti dalam mempersiapkan ini semua. Baik Ryan maupun Andien berkoordinasi dengan baik dengan orang tua masing-masing. Semuanya lancar. Hanya saja Andien tak mampu menyembunyikan rasa khawatir pada abangnya.

Della itu teman lama Andien. Dia bekerja sebagai sukarelawan di sebuah panti rehabilitasi narkoba. Dulu, atas rekomendasi Della pula, Andien menyarankan pada orang tuanya agar Andre dirawat disana, setelah mereka mendengar kabar Andre sakaw di kamar kos-nya. Andre sudah terlanjur cinta mati pada Della, yang merawatnya di panti. Andien akui, Andre yang sekarang lebih stabil dibanding dulu, dan Della memang punya andil dalam perubahan gaya hidup Andre menjadi normal. Hingga kabar pertunangan Della, akhirnya menjatuhkan harapan Andre yang sudah setinggi langit pada Della.

Andien merasa tak mungkin tak mengabarkan kabar bahagianya dengan Ryan pada sahabatnya itu. Andien juga tak mengingkari rasa bersalahnya karena ia telah menjadi penyebab perkenalan Della dan Andre, yang membuahkan petaka seperti ini.

Guratan sedihnya tertahan, saat ia melayangkan pandangannya pada Andre yang sibuk menyalami tamu-tamu Andien. Di wajah Andre terkias senyum bahagia, namun entah apa yang ada di hatinya ketika ia berhadapan dengan Della, teman Andien yang telah lama dipujanya, yang tentu saja tidak datang sendirian, melainkan menggandeng seorang laki-laki yang telah menjadi suaminya.

Ryan meremas tangan Andien, menguatkan hatinya. Andien sadar bahwa Ryan mengerti isi hatinya. Seulas senyum diberikan pada laki-laki jawa tulen yang barusan resmi menjadi pendamping hidupnya itu.

0o0

Andre dilarikan ke rumah sakit!

Tergopoh-gopoh Andien menyambar tas dan ponselnya. Untung sebuah taksi melintas di hadapannya. Taksi itu berhenti saat Andien melambai-lambaikan tangannya dengan panik.

“RS Harapan Bunda, pak!” ucap Andien cepat-cepat setelah masuk kedalamnya. “Halo, mas Ryan. Andien sedang dalam perjalanan ke RS Harapan Bunda liat bang Andre. Kalau mas sudah pulang, langsung susul ke RS ya?”

Klik. Bahkan Andien lupa mengucapkan salam.

Andien tak kuasa menahan air matanya saat menemukan sosok yang terbaring lemah di atas ranjang RS itu.

“Andre overdosis. Mama tidak tahu kalau dia mulai menjamah barang haram itu lagi.” Mama Andien menghambur ke pelukan putri satu-satunya itu.

Andien tak sanggup berkata apa-apa. Ia tak tega melihat tangan kurus abangnya penuh tusukan selang infus, dan alat bantu pernafasan yang tampak sekali-sekali berembun dihembus nafas pemakainya. Mungkin itulah salah satu indikator bahwa nyawa abangnya masih bertahan di tempatnya.

Hingga sore ini, Andien tak henti-hentinya mengiringi peristirahatan abangnya dengan lantunan al quran dari bibirnya. Lamat-lamat, itu juga yang terdengar dari Ryan yang sedari tadi juga menemaninya bersama Fira, anak pertama mereka yang masih berusia 4 tahun.

Ya, 4 tahun lebih Andre menyimpan rasa sakit itu. Sudah banyak yang dilakukan keluarganya untuk mengobati rasa sakitnya. Sudah beberapa wanita teman Andien yang Andien kenalkan pada Andre. Namun jawabannya selalu sama.
Sudahlah…kalau tak mampu mencarikan yang seperti Della, jangan lagi kamu bawa teman-temanmu itu kesini.

Sudah lelah pula Andien bersitegang dengan keputusan aneh abangnya. Masa hanya karena satu wanita, abangnya itu mengabaikan seluruh sisa hidupnya? Namun Ryan selalu bisa menenangkan hatinya. Bersyukur ia mendapatkan laki-laki jawa yang dengan sabar dan telaten menenangkan emosinya yang meluap-luap khas orang medan.

Andien masih menyesali apa yang telah dilakukan abangnya. Lagi-lagi ia merasa gagal, karena Andre lebih memilih meluapkan rasa sakitnya pada buaian barang haram itu daripada dengan adik satu-satunya.

Kadang Andien masih juga tak mengerti cinta apa yang dirasakan oleh abangnya itu? Mengapa harus seperti ini. Cinta memang tak realistis, tapi kenapa juga harus membutakan penikmatnya? Kenapa Andre masih juga bertahan untuk mengejar bayangan yang tak mungkin ia dapatkan??

Andien tersadar dari lamunannya saat tangan kecil Fira, anaknya, menggoyang-goyangkan lengannya.

“Bunda…Kenapa alatnya berbunyi Tiiiiit… lamaa sekali?” Fira menunjuk kotak diatas meja rawat Andre yang monitornya menggambarkan garis lurus, tanda hilangnya sinyal detak jantung si pemakainya.

Andien tersentak, dan meraih tangan abangnya.

Dingin.


#Fiksi#