Minggu, 25 Maret 2012
Mengejar Bayangan
Andien tak habis pikir, bagaimana dia harus menyakinkan abang satu-satunya itu untuk mulai membenahi dirinya. Saat itu, Andien yang sedang kalut menjawab tawaran menikah dari seorang rekan kerjanya, bertanya pada Andre, kakaknya.
“Bang…abang belum ingin menikah kah?” Tanya Andien hati-hati.
“Sudahlah, kau sudah tahu jawabanku.” Andre tidak juga memalingkan perhatiannya selain pada mesin-mesin motor yang sedang diotak-atiknya.
“Masih karena kak Della? Bang, sadarlah Bang… Kak Della sudah mau menikah dengan orang lain…” Andien menaikkan nada suaranya karena kalah bising dengan suara solder di tangan Andre.
Dziiiingg…. Suara lebih tenang ketika Andre memutuskan untuk mematikan mesin di tangannya, dan memilih untuk memerhatikan pertanyaan serius adik satu-satunya itu.
“Kamu nggak ngerti, Dien… Della itu satu. Dan satu-satunya.”
Andre beranjak bangun dan melepaskan kemeja lusuhnya yang sudah kehitaman terkena cipratan oli.
“Bang, cobalah berpikir realistis! Apa abang ingin menghancurkan hidup abang hanya karena satu wanita? Janganlah abang mengejar bayangan yang tak mungkin…”.
“Stop!” Andre mengacungkan telunjuknya sambil berteriak di depan muka Andien. “Kalau kamu mau menikah dengan Ryan, atau siapapun itu. Duluan sajalah..kenapa pula memusingkan abangmu ini. Yang mau menikah kan kamu!”
Mulai sengit. Dua orang keturunan batak karo ini sudah berdiri berhadapan. Andai saja bukan saudara sekandung, mungkin Andre sudah tak tahan mengayunkan tangannya ke muka Andien.
Andien meninggalkan Andre yang masih keras kepala. Dengan sengaja ia menendang kaleng peralatan abangnya, meninggalkan kesan marah dan kekesalan yang tertahan.
Andre mengepalkan tangannya dan meninju keras-keras ke udara.
0o0
Di kantor Andien tak mampu konsentrasi. Tumpukan resensi dan artikel di meja yang mesti ia edit sudah hampir menutupi tinggi kepalanya. Ryan yang meski tak satu divisi dengannya, menyadari hal itu, dan mengirimkan satu pesan singkat di nomor Andien.
Andien, maaf kalau mas Ryan lancang bertanya. Sepertinya Andien sedang kalut. Apa karena pertanyaan mas kemarin? Kalau iya, saya tidak akan mendesak Andien untuk segera menjawab. Pikirkanlah masak-masak. Tapi jangan abaikan pekerjaan, ya…
Triing… nada pesan masuk berbunyi di ponsel Andien. Sedikit enggan Andien membacanya. Alisnya terangkat saat ia baca 1 pesan diterima_ Mas Ryan.
Andien menarik napas dalam sebelum mengetik pesan balasan di nomor itu.
Saya sudah punya jawaban, mas. Hanya saja, sedikit ada yang mengganjal yang jadi beban pikiran.
Ponsel Andien berbunyi lagi. Kalau boleh tahu, apa masalahnya? Maaf, sekali lagi. Tapi ini kan tentang kita berdua. Jadi kalau saya bisa bantu menyelesaikan, saya usahakan. Tentang orang tua kah?
Bukan. Orang tua saya tidak keberatan. Karena menurut mereka, saya memang sudah cukup siap untuk membina kehidupan sendiri. Masalahnya ada pada abang saya. Hmm… Kalau mas ada waktu, silaturrahimlah ke rumah saya. Orang tua saya sudah menunggu.
Ryan di ujung ruangannya tersenyum simpul membaca kalimat terakhir dari pesan Andien. Tapi ia belum mampu menebak, apa gerangan yang membebani pikiran Andien. Ada apa dengan abangnya? Sepertinya memang sudah waktunya Ryan mengenal keluarga Andien lebih dekat. Dan ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Andien untuk menyatakan keseriusannya, meminang Andien, gadis yang menyita perhatiannya setahun terakhir.
0o0
Hari ini resepsi pernikahan Andien dan Ryan. Sebenarnya tak ada masalah berarti dalam mempersiapkan ini semua. Baik Ryan maupun Andien berkoordinasi dengan baik dengan orang tua masing-masing. Semuanya lancar. Hanya saja Andien tak mampu menyembunyikan rasa khawatir pada abangnya.
Della itu teman lama Andien. Dia bekerja sebagai sukarelawan di sebuah panti rehabilitasi narkoba. Dulu, atas rekomendasi Della pula, Andien menyarankan pada orang tuanya agar Andre dirawat disana, setelah mereka mendengar kabar Andre sakaw di kamar kos-nya. Andre sudah terlanjur cinta mati pada Della, yang merawatnya di panti. Andien akui, Andre yang sekarang lebih stabil dibanding dulu, dan Della memang punya andil dalam perubahan gaya hidup Andre menjadi normal. Hingga kabar pertunangan Della, akhirnya menjatuhkan harapan Andre yang sudah setinggi langit pada Della.
Andien merasa tak mungkin tak mengabarkan kabar bahagianya dengan Ryan pada sahabatnya itu. Andien juga tak mengingkari rasa bersalahnya karena ia telah menjadi penyebab perkenalan Della dan Andre, yang membuahkan petaka seperti ini.
Guratan sedihnya tertahan, saat ia melayangkan pandangannya pada Andre yang sibuk menyalami tamu-tamu Andien. Di wajah Andre terkias senyum bahagia, namun entah apa yang ada di hatinya ketika ia berhadapan dengan Della, teman Andien yang telah lama dipujanya, yang tentu saja tidak datang sendirian, melainkan menggandeng seorang laki-laki yang telah menjadi suaminya.
Ryan meremas tangan Andien, menguatkan hatinya. Andien sadar bahwa Ryan mengerti isi hatinya. Seulas senyum diberikan pada laki-laki jawa tulen yang barusan resmi menjadi pendamping hidupnya itu.
0o0
Andre dilarikan ke rumah sakit!
Tergopoh-gopoh Andien menyambar tas dan ponselnya. Untung sebuah taksi melintas di hadapannya. Taksi itu berhenti saat Andien melambai-lambaikan tangannya dengan panik.
“RS Harapan Bunda, pak!” ucap Andien cepat-cepat setelah masuk kedalamnya. “Halo, mas Ryan. Andien sedang dalam perjalanan ke RS Harapan Bunda liat bang Andre. Kalau mas sudah pulang, langsung susul ke RS ya?”
Klik. Bahkan Andien lupa mengucapkan salam.
Andien tak kuasa menahan air matanya saat menemukan sosok yang terbaring lemah di atas ranjang RS itu.
“Andre overdosis. Mama tidak tahu kalau dia mulai menjamah barang haram itu lagi.” Mama Andien menghambur ke pelukan putri satu-satunya itu.
Andien tak sanggup berkata apa-apa. Ia tak tega melihat tangan kurus abangnya penuh tusukan selang infus, dan alat bantu pernafasan yang tampak sekali-sekali berembun dihembus nafas pemakainya. Mungkin itulah salah satu indikator bahwa nyawa abangnya masih bertahan di tempatnya.
Hingga sore ini, Andien tak henti-hentinya mengiringi peristirahatan abangnya dengan lantunan al quran dari bibirnya. Lamat-lamat, itu juga yang terdengar dari Ryan yang sedari tadi juga menemaninya bersama Fira, anak pertama mereka yang masih berusia 4 tahun.
Ya, 4 tahun lebih Andre menyimpan rasa sakit itu. Sudah banyak yang dilakukan keluarganya untuk mengobati rasa sakitnya. Sudah beberapa wanita teman Andien yang Andien kenalkan pada Andre. Namun jawabannya selalu sama.
“Sudahlah…kalau tak mampu mencarikan yang seperti Della, jangan lagi kamu bawa teman-temanmu itu kesini.”
Sudah lelah pula Andien bersitegang dengan keputusan aneh abangnya. Masa hanya karena satu wanita, abangnya itu mengabaikan seluruh sisa hidupnya? Namun Ryan selalu bisa menenangkan hatinya. Bersyukur ia mendapatkan laki-laki jawa yang dengan sabar dan telaten menenangkan emosinya yang meluap-luap khas orang medan.
Andien masih menyesali apa yang telah dilakukan abangnya. Lagi-lagi ia merasa gagal, karena Andre lebih memilih meluapkan rasa sakitnya pada buaian barang haram itu daripada dengan adik satu-satunya.
Kadang Andien masih juga tak mengerti cinta apa yang dirasakan oleh abangnya itu? Mengapa harus seperti ini. Cinta memang tak realistis, tapi kenapa juga harus membutakan penikmatnya? Kenapa Andre masih juga bertahan untuk mengejar bayangan yang tak mungkin ia dapatkan??
Andien tersadar dari lamunannya saat tangan kecil Fira, anaknya, menggoyang-goyangkan lengannya.
“Bunda…Kenapa alatnya berbunyi Tiiiiit… lamaa sekali?” Fira menunjuk kotak diatas meja rawat Andre yang monitornya menggambarkan garis lurus, tanda hilangnya sinyal detak jantung si pemakainya.
Andien tersentak, dan meraih tangan abangnya.
Dingin.
#Fiksi#
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar