Sudah tiga kali Indra membolak-balik biodata yang cuma 2 lembar folio itu di tangannya.
Sekali lagi dia menajamkan pandangannya. Ia betulkan letak kacamatanya yang tidak bermasalah. Ia eja sekali lagi.
Pekerjaan orang tua : Polisi.
Indra mendesah pelan.
Kenapa harus polisi?
Ia ulang baca biodata itu secara lengkap sekali lagi. Keempat kalinya. Tidak ada masalah untuk yang lain, ia rasa.
Track record anak ini bagus, setidaknya itu yang banyak Indra dengar dari rekan-rekan satu forumnya. Hmm... Polisi.
0o0
Berawal dari kegelisahannya karena berulang kali ditanya orang tuanya. "
Nak, kapan kamu nikah?". Indra bertanya pada dirinya sendiri. Merasa tak menemukan jawaban, ia pasrahkan pada Tuhannya. Dan dari 2 kali tanda yang ia lihat dalam mimpi. Nama itu akhirnya yang ia pilih.
Tak sesulit yang indra bayangkan sebelumnya. Setelah terdiam beberapa menit, gadis itu mengiyakan untuk melakukan 'proses' perkenalan dengannya. Tentu saja Indra tak memungkiri, untuk memencet rangkaian nomor HP gadis itu saja, ia gemetaran. Kalau saja Bang Rois, pembinanya tidak menguatkan niatnya, mungkin saja ia urung menghubungi gadis pilihannya itu.
0o0
Sebenarnya Indra tak ada masalah dengan apapun profesi orang tua gadis itu. Asal halal, itu saja cukup. Tapi rasanya, melihat 'cetakan'nya saja seperti itu, apa iya orang tuanya sama seperti polisi yang ia bayangkan?
Indra masih ingat, petuah kakeknya ketika ia hampir lulus SMA. "
Kamu boleh jadi PNS apapun, asal bukan polisi!"
Bagi keluarga Indra, sudah banyak tinta merah yang sudah ditorehkan oleh oknum-oknum polisi yang tidak bertangguang jawab di rapor ingatan mereka. Mulai dari asal tilang (benar-benar asal-asalan!)yang kelihatan mencari-cari kesalahan, hingga yang terparah adalah asal tangkap!
Ya, paman Indra pernah dipenjara 3 minggu karena salah paham. Polisi mencurigainya sebagai penadah kendaraan curian. Padahal paman Indra hanya menerima titipan motor dari seseorang yang baru dikenalnya.
Memang akhirnya masalah itu selesai. Tapi perlu waktu yang lebih lama lagi untuk memulihkan nama baik keluarga Indra, apalagi kakek Indra adalah seorang yang disegani sebagai pemilik pondok pesantren di daerahnya.
Ditambah lagi, ada oknum yang meminta 'tebusan' yang tak masuk akal untuk memuluskan perkara paman Indra. Sudahlah, itu saja sudah membuat nama Polisi begitu jelek di meta keluarga Indra. Sampai-sampai setiap kali kena macet, ayah Indra selalu merutuk, "
Ini polisi pada ngapain aja sih, jadi macet begini! makan gaji buta ya?".
Apalagi ibunya yang selalu mengomel saat melihat berita miring tentang kinerja polisi di negara ini. Segalanya. Apapun, rasanya tak ada yang benar tentang profesi ini.
Indra menarik napas dalam. Keluarganya 'saja' kan yang bermasalah? Baginya tidak. Indra tetap akan memenuhi janjinya untuk bersilaturrahim dengan keluarga gadis itu.
Ok, mantapkan langkah.
Bismillah...
0o0
Sepertinya bukan keputusan yang tepat mengajak si Enda dalam 'misi' penting ini. Padahal ia sudah memenuhi hak motor jadul ini. Bensin
full. Mesin (sepertinya) oke. Tapi motor honda legenda keluaran tahun 2001 ini tak juga mau bersahabat dengan niatnya yang sudah bulat. Hufft. Indra harus bersabar mendorong motornya yang mogok. Padahal sedikit lagi, menurut alamat yang diberikan gadisnya itu, ia sudah akan sampai tujuan.
Indra dan Enda-nya telah sampai di desa kelahiran dan tempat dibesarkan si gadis. Indra tak menyangka akan sampai juga ia 'berpetualang' di daerah terpencil yang belum pernah ia dengar namanya itu.
Karena kepayahan mendorong motor, ia sandarkan Enda di batang pohon besar di pinggir jalan ini. sementara ia celingukan mencari bantuan. Sekedar bengkel kecil atau semacamnya. Menelpon si gadis? Ah, gengsi lah! Belum apa-apa bisa-bisa ia sudah dicap manja. Apalagi dia punya keturunan militer. Maka cepat-cepat Indra menghapus opsi paling konyol itu dalam kepalanya.
Belum lama Indra mencukupkan istirahatnya, seorang bapak mendatanginya. Dengan menaiki sepeda dan cangkul dipanggul di bahu kanannya, si bapak hati-hati memberhentikan kendaraannya di depan Indra beristirahat.
"Sedang apa, nak? Sepertinya ada masalah dengan motor kamu ya?" sapa bapak itu ramah.
"Emm, kurang tahu pak. Sedang malas saja motor ini saya ajak jalan-jalan. Manja." Ups! Entahlah. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.
Bapak berumur 50 tahunan itu terkekeh. "Kamu ini bisa saja. Lantas, mau kemana kamu? Sepertinya bukan anak daerah sini ya? Nyasar?"
"Wahh, jangan sampai lah pak saya nyasar, orang saya mau menjemput jodoh saya..."
Nah, loo..kelepasan lagi! Indra mengutuk mulutnya yang asal bicara.
"Anak siapa yang mau kamu jemput? Bapak hapal orang-orang daerah sini, barangkali bapak tahu rumah gadis yang kamu bicarakan.." Bapak itu membetulkan cangkul yang dipanggulnya.
"Saya mencari rumah Pak Suradi. Emm..yang polisi itu pak. Bapak kenal?" Indra juga tak mengerti kenapa lidahnya masih ragu menyebutkan profesi itu. Mungkin bayangan angker ayah gadis itu belum hilang juga dari benaknya.
Sudahlah. Ini cuma paranoid saja! Indra menenangkan diri. Toh, dia belum pernah sekalipun bertemu dengan orang tua gadis itu, membayangkannya saja baru sekarang.
"Ooh, pak suradi. Ya ya, bapak kenal... Tidak jauh lagi dari sini. Karena tidak mungkin meninggalkan motormu disini, lebih baik dibawa saja ke rumah bapak, nanti saya antar ke rumah beliau."
Belum lama Indra terbengong karena tawaran itu, Bapak itu berkata lagi "Ayo, sama-sama menuntun kendaraan manja. Sepeda ini juga sering ndak mau diajak jalan-jalan..."
Indra tertawa. Ternyata ramah sekali bapak ini.
Di sepanjang jalan, Indra menceritakan tentang keperluannya dengan gadis itu dan orang tuanya. Bapak itu menanggapinya dengan sangat baik. Sudah seperti sahabat lama saja mereka. Dan perasaan ini, yang Indra sendiri tak mampu mendefinisikannya, membuat Indra sangat terbuka menceritakan segalanya, termasuk keresahannya menemui calon 'orang tua kedua'nya itu. Begitu juga dengan si bapak, yang menceritakan kesehariannya selain di sawah. Ternyata bapak ini juga menjadi anggota takmir masjid di desa itu.
"Cuma seksi kebersihan saja kok..." bapak itu tertawa merendah. Namun bagi Indra, justru pekerjaan itulah ladang amal yang sering dianggap remeh dan tak banyak orang mau menerimanya.
Tak sampai setengah jam, Bapak yang Indra lupa tanyai namanya itu berhenti di sebuah rumah yang meskipun tak besar, tapi cukup terlihat 'beda' daripada rumah-rumah sebelumnya yang Indra lewati di desa itu.
"Silahkan mampir dulu nak. Pasti kamu capek, karena energi kita bukan hanya terkuras untuk menuntun 'kawan' manja kita ini, tapi habis juga karena kisah berepisode-episode yang kita ceritakan tadi"
Indra tertawa lagi.
"Sebentar, silahkan istirahat dulu di ruang tamu. Saya cuci kaki dulu, maklum dari sawah. Nanti ada anak saya yang mengantarkan teh buat nak Indra"
Sebelum Indra mengucapkan "tidak usah repot-repot" atau sekedar terima kasih, bapak itu sudah menghilang, masuk ke dalam rumah.
Bapak yang ramah. Seandainya saja orang tua yang akan ia temui sama ramahnya seperti itu. Ahh, bayangan angker itu berkelebat sekali lagi. Meskipun Indra dan bapak itu banyak bercerita di sepanjang jalan tadi, tapi bapak itu tak banyak bercerita tentang Pak Suradi yang katanya ia kenal.
Indra melirik jam tangannya. Sudah lewat 2 jam dari janjinya. Sekarang ia benar-benar khawatir akan kemarahan calon mertuanya itu.
Indra memberanikan diri pamit pada bapak yang baik itu. Tentunya bapak itu akan mengerti, bahwa Indra memang sedang menjalankan 'misi' penting, berhubungan dengan masa depannya. Indra tidak mau merepotkan bapak yang kelihatan lelah setelah seharian di sawah itu. Dia bisa menanyakan alamat gadisnya pada tetangga yang lain.
"Assalamu'alaikum" Indra melongokkan kepalanya kedalam ruang tamu yang kelihatan sepi.
Entah apa yang merasukinya, tanpa ada yang mengizinkan, ia nekat saja duduk didalam ruangan 4x4m itu.
Toh, tadi sudah dipersilahkan.. Kata batinnya. Membela diri.
Matanya berpendar ke seluruh penjuru ruangan. Dan matanya terpaku pada sebuah foto yang terpajang cukup jelas di dinding ruang tamu itu.
Sebuah foto keluarga. Bapak itu bersama istri dan 3 anak gadisnya yang berpakaian batik rapi kecuali sang bapak yang berpakaian...POLISI! Dan lihat siapa gadis berjilbab hijau yang duduk ditengah2 foto itu. Dia gadis yang menjadi tujuannya ke desa ini.
Allahu Akbar!
Mendadak keringat yang keluar dari tubuh Indra yang semula hangat menjadi dingin. Kepalanya pening. Jantungnya berdegup tak karuan ritmenya. Indra mengulang-ulang kalimat istighfar untuk menenangkan hatinya.
Jadi bapak itu...??
0o0
Indra hanya mampu tersenyum pias menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Pak Suradi. Bapak yang telah menolngnya yang ternyata ayah pilihan hatinya.
"Yaa, bapak ya begini ini kalau sedang libur dinas. Mengurus sawah yang nanti jadi hak adiknya Sarah. Untuk biaya kuliahnya. Kalau Sarah kan sebentar lagi sudah ada kamu yang menanggung..." diakhiri tawa terbahak dari wajah berkumis lebat itu.
Huffhhh...Indra justru lega mendengar tawa lepas itu.
Ternyata rencana Allah unik juga, ya?. Indra tak henti-hentinya berucap hamdallah dan takbir untuk merayakan kebahagiaan hatinya.
Dengan bangga akan ia ceritakan pada segenap keluarganya bahwa polisi tak sejelek yang mereka duga. Sosok sederhana yang juga tak kehilangan wibawanya meski tanpa seragam akan menjadi bahan obrolan hangat diantara pembicaraan keluarga Indra sore ini.
Yess! Alhamdulillah... Indra berteriak dalam hati.
#
Fiksi#