--24 September 2011--
Kinan membuka pintu kontrakan mungilnya, seolah tidak sabar mempersilahkan udara pagi menyapa wajahnya.
Ini sudah memasuki hari ke-14 bagi penelitian Kinan. Bukan sih, sebenarnya Kinan hanya ikut ke dalam tim penelitian dosennya tentang kebudayaan masyarakat Tengger di sebuah desa kecil di Pasuruan, Jawa Timur.
Hari ini, bagi Kinan adalah hari biasa saja. Tapi justru menjadi tidak biasa ketika ia mendapati beberapa sms dan telepon masuk tadi malam, ketika memasuki jam 00.01 WIB. Seperti yg sudah ia duga, pengirim sms2 itu tak lain adalah orang yang telah lama ia 'abaikan'. Hemmhh...di
recent call saja ia masih melihat nama itu. Dia yang namanya tak boleh disebut.
Kinan memakai kaos kaki dan sandal gunungnya.
Tracking?. Nggak,lah... Nggak sepagi ini juga. Kinan hanya ingin menikmati keindahan panorama Tengger yang masih asri. Tidak seperti kota tempat ia menuntut ilmu.
Baru saja ia melangkahkan kaki keluar dari halaman rumahnya, wajahnya mendadak berubah ketika menangkap sosok yang sudah lama ia kenal. Orang yang tidak ingin dilihatnya saat ini.
"Pagi, Kinan..." senyumnya yang khas menyapa Kinan yang tak terdefinisikan bagaimana roman kagetnya.
"Kamu? ngapain disini?" Kinan berusaha menahan nada bicaranya, tak ingin terkesan tinggi.
"Iseng. Ya ga mungkin lah aq nyasar sejauh ini dari Malang." Laki-laki itu masih saja tersenyum. Bahkan seolah menahan tawa melihat betapa lucunya muka Kinan yang terkaget-kaget seperti sekarang ini.
"Trus? tujuannya kemari?" Kinan masih saja mengerjap-kerjapkan matanya, berharap makhluk di depannya itu hanya ilusi dan menghilang setelah ia membuka mata.
"hahaha...Kinanti..Kinanti, kamu masih aja lucu ya, kayak biasanya... Ya apalagi tujuannya kalo ga nemuin kamu? Emang aku punya alibi lain?"
Bego! Kinan merutuki dirinya sendiri. Ngapain juga ditanya. Selama ia mengenal orang ini, setahu dia Adrian memang nggak punya sodara di Pasuruan dan sekitarnya.
"Trus, kamu tahu alamatku dari mana?" Kinan sudah tidak dapat menyembunyikan wajah tidak sabarnya. Tidak sabar melihatn orang ini segera enyah dari pandangannya.
"Menurutmu?" Adrian masih saja menggodanya,"intuisi, neng...pake perasaan"
Hueekk!!, Kinan hampir saja mual mendengar gombalan ga mutu itu sekali lagi. Emangnya dia bakalan percaya. Iya kalo Kinanti jaman baheula, yg dgn mudahnya percaya dengan kalimat-kalimat ga logis kayak dulu. Emang jantung ada GPS-nya apa?? Atau..Kinan mulai curiga, jangan2 ada yang memasukkan
chip tertentu dalam tas-nya, sehingga Adrian dengan mudahnya mendeteksi lokasinya. Hahh...Gila! emang-nya ini film action hollywood?? KInan menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Ehh, emangnya enak, ya ngobrol sambil berdiri begini?" Adrian buka suara lagi.
"Emang kamu berniat berapa lama disini?" Kinan keluar jutek aslinya.
"Deuu...segitunya kalo ngusir. Nggak kasian apa, aq naek motor bgini dari jauh, bukannya disuruh duduk dlu...malah udah ngusir2" protes Adrian.
Lalu Kinan mengambil posisi duduk di kursi kayu panjang di halaman rumahnya. Tanpa disuruh, Adrian juga duduk disamping Kinan. Menyadari hal itu, Kinan bergeser menjauh.
"Iya, iya...aq juga ga akan deket2 kok sama kamu. Ngerti deh, bukan muhrim, kan? Tapi jangan minggir2 dong,ntar kamu jatoh lagi"
"Gini aja udah bisa timbul fitnah tau" ucap Kinan, masih sama ketusnya.
"Kamu kenapa sih, ga pernah baik sama aq? Masih panjang juga list kesalahanq sama kamu. Permintaan maafq tiap hari itu ga bisa juga menebusnya?" Adrian protes lagi, mulai tidak sabar dengan sikap Kinan.
Kinan diam.
"Oke, sekali lagi. Aq minta maaf. Aq bingung aja, seberat apa sih dosaq sama kamu, sampe kamu ga bisa lagi berubah jadi baik sama aq? Ini Kinanti yang dulu aq knal bukan sih? yg selalu menanankan nilai-nilai kebaikan sama aq, mengingatkan untuk terus bersabar klo aq mulai tempramen" kali ini Adrian benar2 panjang-lebar. Kinan agak terkejut. Laki-laki di sampingnya kini sudah berubah. Bukan lagi kapten basket yang dulunya
cool dan terkesan acuh, tapi justru sekarang seperti salesman yang ga brenti2 muji dagangannya.
"Iya, trus sekarang maunya apa?" Kinan menata kalimatnya. Juga nada suaranya. Dia ambil 1 oktaf sedikit lebih rendah.
"ga banyak kok...cuma mau ngasih ini" ADrian mengambil kotak warna pink dari tasnya. "Selamat ulang tahun, kamu meski di pedalaman gini masih inget tanggal kan?" Adrian mulai melucu lagi, tapi tak juga berhasil membuat Kinan tertawa.
Kinan ragu menerimanya. Sebenarnya hal seperti ini mungkin sudah sangat wajar baginya. Setiap tahun, orang ini selalu membuat 'kejutan' yang alhirnya tak mengejutkan lagi buat Kinan. Tapi, dibela2in menemuinya dengan perjalanan yang cukup berat dengan sepeda motor, sendirian. Yang ini yang belum terpikir oleh Kinan hingga 15 menit yang lalu.
"Kamu masih nggak mau nrima,Kin?" Muka Adrian memelas.
Akhirnya Kinan membuka tangannya, meraih kotak dari tangan Adrian itu. Terpaksa.
Rrrr...Rrrr... Ponsel di tangannya bergetar. Dari Ovy.
"
Kak, Kak Adrian ke tempat kakak sekarang?" begitu bunyi sms-nya.
Dahi Kinan berkerut, memandang layar HP-nya dan Adrian bergantian. Adrian salah tingkah. Oohh, sepertinya Kinan tau sekarang kenapa Adrian bisa ada disini. Bagaimanapun, lokasi penelitiannya itu jauh dari kota 20km dari kecamatan, 10km dari jalan raya. Dengan medan seperti ini, dan keterbatasan akses informasi, bagaimana bisa Adrian dengan mudah menemukannya??
Kinan membalas sms adiknya,"
Kamu kasih tau Adrian alamatku?? Tega ya kamu!" dengan teramat kesal dia memencet tombol OK di layar HP
touchscreen-nya. Adrian menatapnya bingung.
"Kamu sogok pake apa Ovy biar mau kasih alamatq disini?"
Adrian semakin salah tingkah,"Ovy kasih tau kamu?? Emm...Kin, please ya..jangan marahin Ovy. Dia juga terpaksa kok kasih tau aq. Sebenernya dia keceplosan aja sie waktu cerita kamu ada penelitian disini, akhirnya aq mohon dia ngasih alamat kamu. Dia cuma ga tega aja kok sama aq, jangan benci adik kamu ya?"
Ihh, pede amat! yang ada juga gue benci sama lu!, batin Kinan.
"Yauda, sekarang kan tujuan kamu uda terlaksana kan? Ada lagi?"
Sumpah. Kinanti sepertinya sudah agak lupa tentang adab-adab kesopanan menghadapi tamu kalo tamunya seperti ini.
"Emm...sekalian aq mau pamitan, Kin" nada suara Adrian melemah lagi.
Kinan sudah malas mendengar yang seperti ini. Bukan baru sekali Adrian memakai teknik seperti ini untuk meruntuhkan pertahanannya.
"Kemana?"
Hufft! kenapa mesti tanya juga? teriak batinnya.
"Aku diterima kerja di luar jawa, kemungkinan berangkat bulan depan"
Oohh, wajar sih..dia kan udah lulus. Trus kenapa?
"Sebenernya ada tawaran juga sih di Jawa. Tapi...mungkin emang lebih baik kalo aq pergi jauh.
Menjauh dari orang-orang yang tidak menginginkanku lagi"
Naahhhh...tu dia tau!
"Kenapa merasa seperti itu?" Kinan berusaha mendatarkan suaranya. Supaya Adrian tidak terlalu berharap bahwa Kinan akan mengkhawatirkan kepergiannya.
"Hemmh...aq blom cerita ya, kalo rumah tangga orang tuaq menjelang kehancuran?" suara Adrian tertahan, seperti tercekat di tenggorokan.
Gimana mau tau, baca sms kamu aja males. pikir Kinan.
Eh,tapi maksudnya...Divorce??
Kinan mengubah arah pandangannya, yang sedari tadi membuang muka dari laki-laki itu, jadi menatap Adrian bulat-bulat. Memastikan dia tidak salah dengar.
Dan Adrian mulai menceritakan kondisi keluarganya. Kinan menjaga sikapnya, agar tetap tidak terkesan 'terlalu peduli' dengan cerita Adrian. Tapi rencana perceraian orang tua Adrian mau nggak mau membuat dia simpati juga.
"Kamu juga seneng kan, Kinan...Karena ga harus melihatku lagi?"
Pertanyaan jebakan.
"Yaa...yaa, nggak segitunya juga sih. Aku emang menghindar dari kamu, tapi bukan berarti aku membenci kamu kok.." Kinan terbata-bata.
Nah,loo...kenapa jadi kontras dengan hatinya gini??
Adrian langsung turun dari kursi kayu dan bersimpuh di depan Kinan. Tangannya dijulurkan.
"Eh, mau apa kamu?" Kinan waspada. Spontan menarik tangannya kebelakang tubuhnya.
"Makasih ya Kin, kamu masih peduli sama aq. Semenjak kaluargaku bermasalah, aku udah kehilangan kepercayaan bahwa masih ada yang oeduli sama aq. Ayahku meninggalkan kami karena wanita lain, ibuku yang sudah sangat lelah memutuskan untuk menggugatnya untuk bercerai, tanpa memikirkan bagaimana perasaan anak2nya"
Merasa tidak nyaman dengan posisi seperti ini, Kinan menggeser tubuhnya menjauh dari hadapan Adrian, karena tubuh mereka berhadapan dengan jarak yang tak lagi jauh.
"Emm..yauda...Aq nggak tau bisa bantu apa. Yang jelas, sebagai temen kamu, aq cuma mengingatkanmu untuk bersabar. Aq yakin, ibu kamu, yang kulihat disini sebagai 'korban' bukannya benar2 tak memperdulikan kamu da yang lainnya, wanita itu pasti akan selalu mengedepankan perasaannya dan orang2 di sekelilingnya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka.
Khusnudzon aja, mungkin ini yang terbaik. Kalo mau dipertahankan juga kasian ibu kamu, kan? tersiksa batinnya. Tapi kamu juga jangan membenci ayah kamu, mungkin beliau khilaf. Bagaimanapun lebih baik menikah lagi daripada terjadi perzinaan.." Kinan memelankan kalimatnya terakhir, takut menyinggung lawan bicaranya itu.
Adrian tersenyum kecut.
"Aq uda nyangka kamu bakalan ngomong seperti itu, Kin. Kamu selalu mengajarkanku untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang positif. Itu yang aq salut dari kamu. Tapi maaf, mungkin aq blum bisa sesempurna itu menilai ujian ini. Bimbing aq terus ya Kin?"
Lahh, kok...?? jangan2 salah paham orang ini!, Kinan terdiam, tapi pikirannya protes.
"Hemm...mesti sabar ya Kin? Okelah, aq akan sabar, Insya Allah...sesabar aq menunggu kamu. 7 tahun itu bukan waktu yang sedikit lho, Kinanti. Kamu mau sampai kapan menguji kesabaranku?" goda Adrian.
Kinan berjengit dari kursinya. Merasa ini benar2 tak nyaman.
"Jangan berpikir yang aneh2! Jangan berharap banyak ya...Aku, aku..cuma teman kamu disini" Kinan salah tingkah. Merasa menyesal menasehati laki-laki itu barusan.
"Hahaha, Kinanti..Kinanti...aq suka lihat kamu salah tinglah gini. Aq becanda aja kok. Aq juga ga maksa kamu sekarang. Kamu masih punya tanggungan lulus kan? Itu aku sudah tau. Makanya, sembari menunggumu lulus, aku berkarir dulu. Ok, tunggu aku tahun depan ya!
See you! " Adrian menyalakan motornya, dan melaju bersama suara deruman motor yang semakin lama semakin hilang.
Kinan menghela napas panjang.
Kenapa seperti ini, Yaa Allah...??
"
Kurang apalagi sih, dari Adrian? dia sudah cukup sabar mnunggumu, lho Kin.." Suara Hilda mendengung2 lagi di telinganya.
Ahh! Dia itu sudah membuat Kinan trauma. Cinta pertama yang menyakitkan. Bukan untuk Kinan, tapi orang tuanya. Yang tak pernah sedikitpun dibantah ucapannya oleh Kinan. Yang sangat dia cintai dan hormati. Yang menjunjugnya sudah menjadi kewajibannya setelah Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia penyebab untuk pertama kalinya satu-satu ibu yang Kinan sayangi menangisi karena pemberontakan Kinan. Dia penyebab ayah Kinan, laki-laki paling sabar dalam hidupnya, menjadi merah mukanya menahan amarah karena tak percaya putri kesayangannya telah menghancurkan kepercayaannya. Dia yeng membuat Kinan merasa sangat bersalah karena telah memutuskan untuk berpacaran dan mengabaikan nasehat2 orang tuanya. Dia itu Adrian.
Bukan hanya itu. Kenyataan yang membuka mata Kinan membuatnya tak sekedar
illfeel tapi tlah mulai membenci Adrian. Kebohongan demi kebohongannya. Janji2 palsunya. Gila! Kinan jadi tak habis pikir bagaimana bisa dia jatuh hati pada laki-laki itu!
Astaghfirullahaladziim...
Kinan berusaha menguasai dirinya dari bisikan iblis yang mengomporinya. Adrian juga manusia biasa. Dia bisa khilaf. Kinan tak ingin terlalu membencinya kini. Meski ada sedikit keraguan tentang orisinalitas gambaran keluarganya saat ini. Tapi Kinan tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa dia iba. Adrian adalah teman lamanya. Dia masih menyayanginya. Sayang karena Allah. KArena dia seorang muslim juga. Bagaimanapun, dia ingin Adrian berubah. Bukan untuk Kinan, tapi untuk dirinya sendiri.
Ponselnya bergetar lagi. Ovy lagi.
"
Kak, maafin aq yaa... :-("
Kinan membalas,"
Iya. Udah gpp. Lain kali jgn diulang ya sayang.. Km tau kn adrian bagaimana, dan bagaimana juga kakak sama dia?"
Tak lama Ovy membalas lagi, "
Iyaa...maaf :-( Eh, Kak...Kak adrian sms lagi nie..ktanya 'haduuh, perjalanannya lama tapi ga imbang sama waktu ktemuannya', hihihi...pgen tak sukurin aja tu kak, tapi jgn dehh...enaknya dibales apa ya kak?"
Kinan menghela napas sekali lagi.
Dasar Abege!, rutuknya. Dia harus menyadari bahwa adiknya masih 15 tahun dan akan sangat tertarik dengan cerita2 picisan semacam ini. Bagi Kinan yang sudah beranjak kepala dua, hal seperti ini bukan lagi hiburan, malah jadi beban pikiran yang kadang masih saja menghantuinya.
Kinan memutuskan untuk kali ini tidak membalas sms terakhir dari adik semata wayangnya. Baginya sudah cukup kejadian pagi ini membuat dia akan sulit membangun mood dia seharian.
Hufft...sudahlah Kin, Adrian itu bagian dari masa lalumu. Bagaimanapun kamu lari memungkirinya, dia tetap saja pernah hadir dalam hidupmu. Tapi yang lalu biarlah berlalu. Dan kisah baru sudah menantimu...
Kinan mengambil handuknya. Berharap siraman air yang dipakainya mandi itu mampu melunturkan kegalauannya pagi ini.