Minggu, 01 Juli 2012

YoU aRe mY eVeRYthiNg

Cruising when the sun goes down
Across the sea
Searching for, something inside of me

I would find all the lost pieces
Hardly feel, deep and real
I was blinded now I see

Hey hey hey you're the one
Hey hey hey you're the one
Hey hey hey I can't live without you

Take me to your place
Where our hearts belong together
I will follow you
You're the reason that I breathe
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/g/glenn_fredly/you_are_my_everything.html ]
I'll come running to you
Fill me with your love forever
I'll promise you one thing
That I would never let you go
'Cause you are my everything

You're the one, you're my inspiration
You're the one, kiss, you're the one
You're the light that would keep me safe and warm
You're the one, kiss, you're the one

Like the sun goes down, coming from above all
To the deepest ocean and highest mountain
Deep and real deep I can see now




#by Glen Fredly



Kamis, 28 Juni 2012

Lovely Breakfast!! << (*Kali ini bukan cerpen! :D)

Ahhaayyy...
Icha lagi semangat belajar masaaakkk...
Hehehehe, kembali ke fitrah sebagai 'calon istri', citcuiiittt...


Actually, klo aq ga bisa masak itu, pihak yang paling bertanggung jawab harusnya orang rumah tuhh!
Why?? Because of dapur rumah Icha yang sempit, jadinya Kanjeng Mami (*panggilan untuk ibu tersayang,hehehe...:p) selalu ga kasih ijin buat bantuin masak, klo uda ada Kanjeng Mami sama 'embak' di dapur pasti diusir2...


"Udah, sono-sono..ntar kecipratan minyak!"
"Awass, kesenggol kompor!"
dsb...


Hufft,, :(
Trus, mw sampe kapan??
Emangnya ntar aq mw terus2an hidup bergantung sm mreka apa?


Uda lama sie pengen belajar masak, karena sadar diri, ga mungkin lama2 bergantung sm orang rumah atau orang asrama yg selalu nyediain makan. (*Inget umur,euyy! :D)
Emang anak-suami nanti mau dikasih makan apa?
Mau apa ntar lbh dket sm 'bibi'nya daripada bundanya sendiri, gara2 bundanya ga busa masak??
Ihh, No Way!!


Niat sie uda ada, tp actionnya nie,kagak jalan-jalan... Abis sok sibuk sie...:p
Then, berawal dari resignnya mb' yuyun (*khadimat-nya asrama), akhirnya mw ga mw, aq blajar masak dee...
dari bantuin mb' elen (FKH 07) yg uda duluan jago masak, smp akhirnya praktik sendiri!!
Yaiyy!!


Bukan masakan Jepang atau Perancis sie...(*hehehe, klo itu mah rencana jangka panjang,:p)
Tapi masakan ASELI indo yang uda famous banget d luar negeri!
Yappzz! Nasi Goreng!!
*plok..plok..plokk....*


Sebenernya ga susah sie, gampang bgt malah....
aslinya sie uda pernah bikin ini d rumah, pas kagak ada orang gtu, (klo ada orang uda pasti ga boleh masak, takut keracunan semua...)
Tapi karna uda lama beuudd kgak bikin lagi, takut lupa caranya bikin makanan yang enak! :p


Ywd, de..knp jd curhat sepanjang ini??
Here we goo... Ini dia menu breakfast sehat dan (insyaAllah) enakk...:D


0o0
*NASI GORENG SELIMUT ala VEGAN*
(Special 2 porsi)

Bahan :
  • nasi putih 2 piring (piringnya ga usah gedhe2, sist..ntar mati kekenyangan lohh...:D)
  • minyak goreng / margarine secukupnya (2 sdm aja cukup)
  • cabe merah 2 buah, haluskan
  • bawang putih 2 siung, haluskan
  • bawang merah 3 siung, haluskan
  • gula secukupnya, haluskan
  • garam secukupnya, haluskan
  • kecap sesuai selera
  • saos atau cabe rawit
Topping :
  • Jagung manis 1 buah (dipipil)
  • Buncis 3 buah, potong-potong 1 cm
  • wortel 1 buah ukuran sedang, potong dadu
  • jamur tiram, potong dadu
Selimut :
  • Telur 2 buah, kocok lepas
Acar buah :
  • Nanas 3 potong (separuh buah utuhnya), buang batang tengahnya, potong dadu
  • Mentimun 1 buah ukuran sedang, potong panjang-panjang
  • Bengkuang 1 buah, potong dadu
  • 2 sdm gula 
  • 1 sdm cuka
  • 7 buah cabe rawit
  • air 300 cc, panaskan


Cara membuat :
  1. panaskan teflon dengan margarine 1 sdm
  2. masukkan telur yang sudah dikocok, ratakan ke seluruh permukaan teflon hingga tipis
  3. tidak perlu dibalik (karena tipis, cepat matang), jika sudah berwarna keemasan, angkat dan tiriskan
  4. lakukan dua kali, sehingga jadi 2 lembar selimut
  5. panaskan penggorangan dengan sedikit minyak atau margarine
  6. masukkan bumbu-bumbu yang dihaluskan, aduk sampai harum
  7. masukkan jagung manis, buncis, wortel, dan jamur tiram ke dalam penggorengan
  8. jangan terlalu lama, masukkan nasi putih, aduk bersamaan
  9. tambahkan kecap dan saos atau cabe rawit yang sudah dihaluskan sesuai selera
  10. letakkan nasi goreng diatas lembaran selimut telur, tata dengan baik
  11. gulung nasi goreng dengan selimut yang sudah jadi, rapikan
  12. Untuk membuat acar, didihkan air bersama gula, dan cuka
  13. masukkan kesemua bahan, dan biarkan meresap
  14. Tata nasi goreng selimut dan hiasi dengan sosis dan acar buah
0o0


Whaddaaa... Jadi dehh...
Biar sarapan sehat qt lengkap, tambahin tuh segelas susu low-fat atau orange-juice
Mestinya dihitung juga sie nilai gizinya, biar bantu tmn2 yg pgn diet sehat juga...
Emm, tapii...kapan2 deh yaa, ini aja buru2..mw ktemu sm orang 'istimewa'...:p

(PS: berhubung ga sempet difoto, setelah masak...jadi aq kasih foto 'palsu'nya yaa...^^V)

Ok, selamat mencoba!! *\^,^/*

Kamis, 07 Juni 2012

UNIQUE

"Kak, liat Kak Riana ga?" seorang yunior di kampus Alyssa mencegatnya di kantin.

"Nggak. Kenapa?"

"Nggak papa sih, cuma ada perlu aja..kn biasanya kalian msti barengan..."

Alyssa mengerutkan kening. "Oh ya?" dan mengumbar sekilas senyum sebelum berlalu.

Itu yang pertama!
Selanjutnya,

"Riana!" seseorang memanggil sambil setengah berlari kearah Alyssa. Alyssa tolah-toleh kanan-kiri. Mana Riana? Perasaan dia ga lagi sama aku...pikirnya.

"Eh, sorry...aq kira  kamu Riana, abis dandanan kalian mirip sie. Bajunya juga. Niru2 Riana ya?" seloroh anak itu, yang kemudian ngeloyor pergi, meninggalkan Alyssa bengong sendirian.

What??!!
Alyssa langsung lari ke kamar mandi. Mematut-matut diri di depan kaca. Iya, sie...hari ini dia 'agak' mirip dengan Riana. Setidaknya kombinasi warna baju yang mereka pakai sama. Bawahan Jeans biru, atasan kemeja putih. Dan itu berlangsung hingga seminggu berikutnya. Mereka pakai baju yang 'sama'!

Awalnya Alyssa tak memusingkan itu. Dia fine saja, kalau ada yang salah memanggilnya Riana. Dia juga biasa saja saat ada yang bilang mereka mirip. Meski kenyataannya jauuhh... Emangnya dia punya keturunan Tionghoa seperti Riana?? Mata, hidung, kulit. Ahh, bener2 pada rabun itu orang2!

Riana cuma bilang, "Mungkin karena qt selalu kliatan barengan aja ya, Al? jadi mereka suka ketuker2..." sambil ketawa renyah. Nah, ketawanya aja juga beda. Mana bisa Alyssa ketawa se'anggun' itu. Ngakak ya ngakak aja...
Selain physically, Alyssa juga tak merasa mirip intelejensinya dengan Riana. Ngomong bahasa inggris aja masih kagok, mau disamain sama Riana yang jago debate. Hahaa, Alyssa menertawakan dirinya sendiri.

Selama ini Alyssa tak pernah merasa menjadi nomor 2. Mereka beda, kok... Bukan twin. They're totally different. Tapi Alyssa baru merasakan nggak enak bgt jadi nomor 2.

Eh, kok bisa??

Seringkali Alyssa mendapat 'titipan' dari dosen-dosen yang berkepentingan dengan Riana. Alasannya, Riana sulit dihubungi dan lebih baik menitipkan pesannya pada orang terdekat Riana. Sampai akhirnya suatu hari HP Alyssa penuh dengan SMS...
"Kak, pesen dong sama Kak Riana nanti jangan lupa rapat di senat"
"Kak, bilang sm kak Riana, sekarang tak tunggu di depan kelas, mau minta tanda tangan"
"Kak, bla..bla..bla..."

Hassshhhh!! Cukup!
Emangnya gue asisten dia apa?? Mentang-mentang gue ga pernah unggul daripada Riana. Mentang-mentang dia selalu duduk di samping gue (itu juga karena dia yang pesen). Mentang-mentang kami sering pake baju 'kembar'. Mentang-mentang gue selalu mau diajakin kemana-mana buat nemenin dia. Tapi gue bukan Riana. So, please...Jangan panggil gue Riana. Gue bukan Riana versi 2. Gue bukan buntutnya. Gue Alyssa. Dan gue punya hidup sendiri!!


Dan sejak itu, Alyssa memilih untuk menyingkirkan dirinya dari sisi Riana. Sahabat yang sudah menemaninya dari semester awal di kampus ini.
Semata-mata hanya untuk sebuah 'eksistensi'.

Alyssa ga tahan untuk menceritakan tentang 'perpisahannya' dengan Riana pada Radit, laki-laki yang paling setia menemani Alyssa sekalipun hanya untuk mendengar omelannya dalam setahun terakhir.

"Kamu ga ngerasa berlebihan, dek? Ntar kamu kangen lho.." tanya Radit hati-hati, karna paham bener karakter meluap-luap lawan bicaranya itu.

"Nggak lah... Ini adalah bentuk akumulasi Kak, sebenernya uda lama aku ngerasa ga cocok dengan karakternya. Dominan. Maunya kemana-mana diikutin. Kata-katanya dturutin. Iya sie, aq ga sepinter dia diplomasinya. Tapi.."

Radit memotong.
"Hssshhh...udah, udah...kok jadinya kamu jelek2in diri sendiri gitu sie? Ga bagus lho, semacam nyalahin apa yang uda Tuhan kasih sama kamu. Ga bersyukur."

Dan itu ckup berhasil mengatupkan bibir Alyssa, meskipun sekarang jadi lebih maju beberapa senti karena manyunnya. Alyssa masih membela diri, kalau bukan salahnya kalau dia menjauh dari Riana. Biar sadar! katanya.

Alyssa cukup puas dengan hidupnya saat ini. Tanpa bayangan Riana lagi. Dia merasa lebih ringan, seringan jawabannya ketika ada yang nanya, "Al, kalian jadi jarang keliatan bareng akhir-akhir ini? berantem ya?"

"Nggak ada apa-apa kok. Kan dari dulu kami sudah punya hidup masing-masing" dengan penekanan pada kalimat kedua.

Alyssa merasa nyaman dengan Radit. Bukan karena Radit itu laki-laki dan Riana perempuan. Tapi Radit itu nggak dominan. Sifat yang Alyssa klaim ga bakal bisa ilang dari diri Riana. Radit itu dewasa, calm, pinter tapi ga neko-neko, mau jadi pendengar bukan pengatur forum kayak Riana. Setidaknya Radit nggak pernah memperlakukan Alyssa seperti ajudan di bawahnya, tapi partner yang setara!

"Kak, kalo kakak dihadapkan pada 2 pilihan barang dengan nilai yang sama, tapi feature yang beda, yang satu lebih banyak featurenya daripada yang lain, kakak pilih yang mana?" tanya Alyssa pada Radit suatu hari..

"Emang ada ya? Hmm, secara manusiawi, yaa milih yang banyak  feature-nya lah..." Radit terkekeh.

Unpredictable. Mendengar itu, Alyssa langsung nangis sekenceng-kencengnya.
"Huaa...berarti kakak lebih milih Riana dong, daripada akuu...??"

"Eh, eh..ini tentang apa sih? Kok jadi Riana dan kamu??" Radit salah tingkah.

Bukannya menjelaskan, Alyssa malah makin menangis sejadi-jadinya. Menangisi nasibnya yang menurutnya ga sebaik Riana. Menyalahkan Riana yang selalu membayangi hidupnya, sehingga hidupnya tak lagi bersinar karena Riana lbh shiny daripada dirinya. Merutuki orang-orang yang menomorduakannya daripada Riana. Dan lain sebagainya...

Radit menarik napas panjang...

"Untuk saat ini kamu benar-benar keliru, Al... Jangan menghakimi diri sendiri karena tak memiliki apa yang orang lain punya. Siapa bilang kamu ga lebih baik daripada Riana. Ok, kalau menurutmu physically Riana lebih semuanya dari kamu. Tapi menurutku, dia ga lebih usefull daripada dia. Setidaknya buatku. Kamu mungkin punya lebih banyak waktu daripada Riana, tapi dengan itu pula kamu luangkan waktu untuk menjadi pendengar yang baik buat semua orang yang membutuhkanmu. You're special. Kamu baik. And it's enough for me to love you..."

Radit melanjutkan,"Mestinya iri itu jadikan sebagai motivasi, tapi jangan sampai terobsesi. Karena setiap manusia itu diciptakan unik dengan karakter dan kelebihan masing-masing, bahkan kembar pun ga ada yang identik. Itu yang kakak pelajari dari kamu. Selalu berpikir positif. And it's only one of reasons, why do I love you so much. So, please...kembali lah menjadi Alyssa yang selalu memberiku recharge. Ok?"

Kali ini Alyssa masih terisak. Tapi bahagia. Setidaknya, dicintai orang lain itu membuatnya merasa berguna.

Selasa, 05 Juni 2012

Semua 'kan Indah pada Waktunya

>> 6 Oktober 2011

"Qobiltu nikahaha..."
Suara Mas Raga memecah hening seisi aula yang dijadikan tempat resepsi sekaligus akad nikah ini. Tegas dan pasti.



Tes...Tes...
Kinan menghapus airmata yang mulai menganak sungai di pipinya. Ini pernikahan pertama yang begitu mengharukan baginya. Sayang, bukan dia pelaku utama dalam adegan sakral itu.

Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri agar tak menangis di tempat ini. Bahkan kemarin dengan senyum lebar dia meyakinkan Kak Rosita agar 'jabatan' koordinator dokumentasi dalam kepanitiaan pernikahan itu diberikan padanya. Kalau begini caranya, kamera DSLR punya Kak Ros bisa basah nie...

0o0

"Maaf Kin, Mas belum bisa dalam waktu dekat ini..."

Cuma itu yang terucap dari bibir laki-laki yang sudah dipilihnya itu. Saat itu Kinan merasa fine-fine saja mendengarnya. Toh, ia masih punya segudang impian yang ingin ia wujudkan sebelum menikah. Tapi, 6 bulan ini? Progress apa yang sudah mereka berdua capai?

Kinan ingat cerita Kak Ros yang hampir 'mirip' dengannya.

"Dulu, Mas Raga juga seperti itu. Jujur, Kakak juga tersiksa, 'digantung' dengan kondisi 'nggak normal' macam ini. Tapi, jujur juga...Kakak sudah terlanjur menyerahkan hati kakak. Akhirnya ada momentum yang membuat Mas Raga harus segera 'bertindak'. Waktu kakak 'ditawari' taaruf dengan abang temen kakak. Waktu Mas Raga denger itu, Mas Raga langsung pulang ke Indonesia untuk melamar kakak, hehehe... Emang harus sie, biar kelihatan seberapa niat dia mau meminta kakak sama orang tua kakak"


Kinan hanya senyum sekilas. Tapi hatinya berdenyut aneh. Nyeri lagi. Rasanya ia tak bisa 'menuntut' Mas Fikri-nya berbuat seperti apa yang Mas Raga lakukan. Meski sebenarnya Kinan sudah mengalami seperti yang Kak Rosita rasakan dulu.

6 bulan terakhir, sudah 3 laki-laki datang padanya untuk menyatakn keinginannya agar Kinan mau menjad pendamping hidupnya. Tapi Kinan selalu menolak.

"Apa sudah ada orang yang 'mengikatmu',Kin?" pertanyaan hampir seragam selalu terlontar dari ketiga laki-laki itu.

Kinan menghela napas. "Hmm, masih banyak tanggungan. Belum mikir untuk nikah."
Baru kali ini, hanya hatinya yang tidak setuju lisannya berbohong. Pikiran dan lisan sudah kompak rasanya menyampaikan 'alibi' itu. Padahal...

Ahh, lagi-lagi pertanyaan itu muncul lagi di kepala Kinan.
"Kenapa Mas Fikri harus datang sekarang??"

0o0

Sebuah pesan singkat diterima Kinan sehari setelah acara resepsi pernikahan Kak Rosita dengan Mas raga dihelat.

"Hei, aku sudah buka kado darimu. Makasih ya,sayang...Mas Raga suka, malah request biar aku pakai gamis dari kamu pas lebaran nanti... Oh iya, kami berdua doain kamu sama mas Fikri deh, biar dimudahkan...:)"

Kinan tersenyum pias, lalu mulai mengetikkan balasan untuk Kak Ros.
"Sama-sama ya Kak...Pernikahan kakak kemarin bikin aku termotivasi dehh...Tapi bukan untuk terburu-buru. Melainkan lebih menyiapkan diri untuk menghadapi fase baru nanti..."


Kinan meng-underlined kata-katanya sendiri. Nanti. Entah kapan.

Balasan lagi datang...
"Iya, dek...Sabar dan terus ikhtiar yaa...Semua akan indah pada waktunya"

Butuh beberapa menit untuk Kinan memformulasikan perasaannya dan kata-kata yang tepat untuk mewakilkannya.

"Ya, Kak... I still believe it"


0o0

Eternal Flame, and everything was start here...

>> 6 Oktober 2010

Kinanti masih tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Dilepasnya kacamata minus setengah miliknya. Setelah beberapa kali ia mengucek matanya yang sama sekali tak gatal, ia pasang kembali alat bantu lihat-nya itu. Masih sama. Kinan tidak salah lihat!
Ingin sekali ngomong sebenarnya. But how??
OK. Saya tunggu, Kalo beneran mau cerita 
OK. saya akan katakan saja. Dgn sgala konsekwensinya. I'm not sure. Ga yakin. It feels weird. A little bit 
What 'it' about? 
I think I started to feel that we are more than just friend, Al. All the jokes, all the conversations empowering each other. It's all feels different to me. Sorry to say. Mudah-mudahan kamu mengerti maksud perkataan saya. You are 'special' (*sambil nutup muka pake bantal). Sorry, Sorry, I'm so sorry...

Mendadak jantung Kinan berdegup tak karuan. Yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sudah tak terdefinisikan lagi ritmenya.
Jujur, saya pusing.
Ya. Saya ngerti. Saya juga. Walaupun ada perasaan 'lega' juga setelah mengatakannya. 
 Ga ngerti juga mesti gimana.
May I ask you a question? Only simple question. I promised. 
Mampus! Ini dia. Kinan ga sanggup menjawab apapun kalo benar orang ini menanyakan perasaannya.
 Nope. No, untill I'm ready. *Serius. Gemetar tangan saya ngetiknya
Sial! kenapa mesti sejujur ini! Kinan mengutuk tulisannya sendiri. Sayang di chat ini tidak ada option 'cancel'!
Ok. Very, very simple.
Kinan menarik napas dalam-dalam. Semoga bukan 'jawaban' yang orang ini tanyakan.
Ok. What is it?
May I, Kinan? a very simple question. I just wanna ask you. Do you feel the same,Kin? 
Reflek Kinan melipat notebooknya. Napasnya masih memburu mengiringi jantungnya yang kian panik. Dunia rasanya berputar lambat baginya. Halloo, ini mimpi kan? Kuharap cepatlah pagi!

Butuh waktu hampir setengah jam untuk meredam degup jantungnya. Ia buka lagi notebook yang ter-sleep  karena tingkah groginya.
Ragu, ia mengaktifkan lagi akun facebooknya. Ekor matanya melirik chat-room yang belakangan secara tak sadar selalu ia tunggu ke'aktif'annya. Humm, offline.

Kinan memutuskan untuk segera mengakhiri malamnya. Shut down. Ia sidah berbaring dengan muka tertutup selimut tebal itu, seolah malu kalau cicak mengetahui wajah merahnya.

Kemudian ia memastikan, malam ini Kinan bakalan susah tidur!

Minggu, 08 April 2012

Baru Aku Tahu, Cinta Itu Apa

>> 15 Agustus 2010

Kinanti mengayuh sepeda anginnya dengan lemah. Bukan karena puasanya hari ini. Bukan juga karena cuaca Surabaya memang tak sedang bersahabat. Tapi apa yang kejadian tadi pagi tetap saja menggelayut di otaknya dan enggan pergi.

Hatinya begitu sesak mendengar keputusan sepihak si Mas’ul syuro’ untuk tetap mendudukkannya di amanah yang ia enggan menerimanya. Ia ingin berkembang. Ia ingin keluar dari lingkaran kecil ini. Masa begitu saja nggak ngerti!

Seorang kader dakwah harus siap menerima amanah apapun, kapanpun. Karena pada dasarnya ia adalah air, yang menyuburkan dimanapun tempat yang ia lewati, ia singgahi. Dan meskipun itu terkadang tidak sesuai dengan kehendak hati, yakinlah bahwa amanah itu bukan datang dari manusia, tapi Allah yang memilih antum untuk mengemban amanah ini.

Taujih singkat yang barusan ia dengar sebagai penutup forum syuro’ pagi tadi, tak juga membuat Kinanti lega hati. Segudang pertanyaan menyeruak dalam pikirannya. Dianggap tidak mampukah dia? Dalam hati ia cemburu pada teman-teman satu lingkarannya yang diamanahi di forum yang lebih tinggi diatasnya.

Sampai di kamar mungil di tempat kosnya tercinta, Kinan tak sabar untuk segera menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Sesaat tubuhnya mendarat, tak kuasa lagi ia menahan butiran air yang menghambur keluar.

Drrrtt…Drrrttt. Getar ponsel dalam tas yang masih disandangnya tak urung membuat tangis Kinan berhenti sejenak.

Dek Sylvia. Ia menyeka matanya yang masih berembun untuk mempertajam penglihatannya yang mengabur.

Assalamu’alaikum, kakak…^^. Long time no see yuhh! Sylvi Cuma mau ngasih kabar nie, kalo akhir semester ini acara Tafakkur Alam mau diadain lagi di Poncol. Seperti biasa, Sylvi mau minta kakak untuk ngisi, kan sekalian refreshing kak, daripada musingin kampus terus, hehe…Mau yah, yah, yah??
PS: tidak menerima penolakan! :p


Bukannya terhibur, Kinan justru semakin terisak. Akhir semester ada agenda besar di kampusnya. Kenapa amanah ini begitu menyiksanya? Merenggut kebahagiaannya menikmati dakwah di sekolah yang baru 2 tahun ditinggalkannya. Mengurung kebebasannya berekspresi. Terpaksa harus mengakui dan mengikuti apa itu yang namanya ‘keputusan syuro adalah keputusan tertinggi’.

Tapi sayang Kinan tidak dilahirkan sebagai gadis pemberontak. Bagaimanapun dia adalah gadis jawa yang penurut. Penolakan hatinya hanya berhenti di ujung tenggorokan yang akhirnya tak mampu ia ucapkan. Hanya bulir-bulir air yang terkadang merembes membasahi pipi yang ia tutupi dengan menunduk dalam, seperti menghayati instruksi yang diberikan padanya.
0o0
Malam ini Kinan menuruti ajakan teman-teman kosnya untuk safari masjid. Tarawih di masjid besar lain yang sedikit jauh dari tempat kosnya. Lagi-lagi Kinan hanya menurut saja, meski kepalanya masih berat memikirkan peristiwa tadi pagi.

Rupanya ada sesuatu yang lain yang sedang dipersiapkan Allah untuk menjawab kegalauan hatinya. Itu adalah ceramah ‘biasa’, sebelum shalat witir dilaksanakan.
Lewat speaker masjid diatas kepalanya, suara penceramah itu begitu jelas menyapa telinga Kinan. Sang ustadz menyitir sebuah hadist yang dengan kepiawaiannya menjadi sebuah 'dongeng' yg menarik untuk disimak.

Umar bin Khattab ra. pernah berkata pada Rasulullah,"Ya Rasul, sesungguhnya aku mencintaimu melebihi harta perniagaanku, istri, dan seluruh apa yang aku miliki seperti aku mencintai diriku sendiri". Lalu Rasulullah menjawab,"Sungguh, engkau belum benar-benar mencintaiku (beriman padaku), karena seseorang yang beriman padaku, akan mencintaiku lebih dari nyawanya sendiri". Sejenak Umar ra. terdiam, kemudian berikrar,"Baik Ya Rasululllah, mulai saat ini aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri."

Taujiih singkat itu merasuk dalam pikiran Kinan. Tepat menohok relung hatinya. Karena ia pernah berpikir untuk lari dari sebuah amanah dakwah. Wajar kiranya jika manusia yang dibekali dengan akal, akan membanding-bandingkan apa yang dimilikinya. Di kampusnya, yang ia sebut sebagai ‘rumah baru’, tak banyak kebahagiaan yang Kinan rasakan. Banyak tuntutan yang menimbulkan kepenatan. Banyak kekecewaan yg membuat diri dan jiwanya lelah melangkah. Terlalu banyak tangisan dibanding senyuman. Jauh jika dibandingkan di SMA-nya, yang ia sebut sebagai 'rumah lama'. Keceriaan, Ukhuwwah rasanya itu lebih dari cukup untuk membuat dirinya menjadi betah berdakwah. Semangat berjuang bersama orang-orang yang sangat menghargai segala yang ia lakukan, menguatkan diri Kinan. Sanjungan dan pujian tak jarang ia dapatkan di ‘rumah lama’ dibandingkan di 'rumahnya yang baru'.

Kemudian saat Kinan ‘hijrah' ke tempat asing yang ia sebut sebagai ‘rumah baru’, sungguh berbeda rasanya. Hatinya masih terikat di 'rumah' yang lama. Meski raganya bekerja keras di 'rumah baru’,nya tapi rasanya sulit sekali untuk ikhlas, karena Kinan merasa apresiasi yang ia terima tak sepadan dengan usaha yang ia lakukan.

Dan saat ini, ketika amanah itu datang bersamaan dari 'rumah' yang baru dan yang lama. Ingin rasanya Kinan lari dari amanah yang menguras waktu, tenaga, pikiran dan emosi jiwanya. Pasti menyenangkan rasanya berkumpul dengan adik-adik yang menyayanginya di 'rumah' yang lama. Mereka masih kecil, masih butuh dukungan dan bimbingan dari kakak yang bersedia memberikan apapun untuk 'rumah' yang telah membesarkannya ini.

Tapi lagi-lagi keterpaksaan dijadikan alasan bagi Kinan untuk menahan ekspresi penolakannya, memaksa dirinya untuk bertahan di 'rumah' baru ini. Karena 'rumah' baru ini rapuh. Tak banyak orang yang mau menjaganya. Lantas bagaimana kalo 'rumah' ini tiba-tiba roboh? Meski Kinan merasa bukan sepenuhnya tanggung jawabnya, pasti menyakitkan rasanya membayangkan dakwah tak lagi tegak di 'rumah baru’nya.

Lalu dengan menahan sakit, penat, dan kerinduan amat mendalam pada 'rumah' yang lama, Kinan putuskan untuk bertahan di 'rumah baru' ini. Meski dengan konsekwensi jika tonggaknya roboh, dia harus menyediakan tubuhnya menjadi penopang 'rumah' ini. Jika tiangnya retak, maka Kinan harus menguatkannya, meski sebenarnyaia merasa dirinya tak sekuat itu.

Lalu pertanyaan-pertanyaan besar memenuhi pikiran Kinan. “Mengapa saya yang harus melakukan ini semua? Apa yang saya dapatkan disini? Hanya lelah sajakah? Bukankah sama saja, dakwah yang diperjuangkan? Hanya bedanya d 'rumah' yang lama kewajiban saya hanya tinggal menyuburkannya, tapi disini saya harus mencangkuli untuk menggemburkannya, belum lagi harus siap menjadi 'pupuk' ketika tanahnya kering kerontang.

Dan apa yang barusan ia dengar lewat kotak hitam diatas kepalanya itu menjadi jawaban dari segala pertanyaannya. Ternyata Kinan mulai mencintai 'rumah' saya yang baru. Mengapa ia bersedia sakit hati, merasa penat dan lelah disini. Ternyata cinta bisa membuat manusia mengorbankan kebahagiaannya di tempat yg lain.

Kinan menyadari, bahwa mungkin banyak teman-temannya merasakan hal yang sama, merasa lelah dan ingin pergi meninggalan 'rumah' yang saat ini mereka jaga. Tapi Kinan yakin, semua itu adalah bentuk ujian kesetiaan buatnya. Bukankah, tidak akan diterima pengakuan iman seseorang sebelum ia mendapat ujian atas pernyataan iman (cinta)nya?

Kinan mengkaji ulang kenginginnya untuk keluar dari 'rumah' ini. Karena suatu hari nanti, bisa jadi ia menangisi keputusannya. Ketika kejayaan islam benar-benar tegak di 'rumah' ini, barangkali ia akan menyesali,"Kenapa bukan saya yang menjadi salah seorang dari muharrik-muharrik yang sekarang merayakan kemenangannya?"

Dengan memantapkan hati, Kinan membalas sms Dek Sylvi yang tadi siang masuk ke ponselnya.

Isinya? Permintaan maaf karena absennya pada kegiatan puncak Rohis SMA-nya yang belum pernah Kinan lewatkan sebelumnya. Sekaligus kalimat semangat, supaya bertambah cintalah mereka, adik-adik yang ia tinggalkan di ‘rumah yang lama’ pada amanah yang saat ini mereka jaga.

Sent.

Terukir senyum di bibir Kinan untuk merayakan hatinya yang kini terasa lega.
0o0

Jumat, 30 Maret 2012

Pak Polisi


Sudah tiga kali Indra membolak-balik biodata yang cuma 2 lembar folio itu di tangannya.
Sekali lagi dia menajamkan pandangannya. Ia betulkan letak kacamatanya yang tidak bermasalah. Ia eja sekali lagi.

Pekerjaan orang tua : Polisi.

Indra mendesah pelan. Kenapa harus polisi?

Ia ulang baca biodata itu secara lengkap sekali lagi. Keempat kalinya. Tidak ada masalah untuk yang lain, ia rasa. Track record anak ini bagus, setidaknya itu yang banyak Indra dengar dari rekan-rekan satu forumnya. Hmm... Polisi.

0o0

Berawal dari kegelisahannya karena berulang kali ditanya orang tuanya. "Nak, kapan kamu nikah?". Indra bertanya pada dirinya sendiri. Merasa tak menemukan jawaban, ia pasrahkan pada Tuhannya. Dan dari 2 kali tanda yang ia lihat dalam mimpi. Nama itu akhirnya yang ia pilih.

Tak sesulit yang indra bayangkan sebelumnya. Setelah terdiam beberapa menit, gadis itu mengiyakan untuk melakukan 'proses' perkenalan dengannya. Tentu saja Indra tak memungkiri, untuk memencet rangkaian nomor HP gadis itu saja, ia gemetaran. Kalau saja Bang Rois, pembinanya tidak menguatkan niatnya, mungkin saja ia urung menghubungi gadis pilihannya itu.

0o0

Sebenarnya Indra tak ada masalah dengan apapun profesi orang tua gadis itu. Asal halal, itu saja cukup. Tapi rasanya, melihat 'cetakan'nya saja seperti itu, apa iya orang tuanya sama seperti polisi yang ia bayangkan?

Indra masih ingat, petuah kakeknya ketika ia hampir lulus SMA. "Kamu boleh jadi PNS apapun, asal bukan polisi!"

Bagi keluarga Indra, sudah banyak tinta merah yang sudah ditorehkan oleh oknum-oknum polisi yang tidak bertangguang jawab di rapor ingatan mereka. Mulai dari asal tilang (benar-benar asal-asalan!)yang kelihatan mencari-cari kesalahan, hingga yang terparah adalah asal tangkap!

Ya, paman Indra pernah dipenjara 3 minggu karena salah paham. Polisi mencurigainya sebagai penadah kendaraan curian. Padahal paman Indra hanya menerima titipan motor dari seseorang yang baru dikenalnya.
Memang akhirnya masalah itu selesai. Tapi perlu waktu yang lebih lama lagi untuk memulihkan nama baik keluarga Indra, apalagi kakek Indra adalah seorang yang disegani sebagai pemilik pondok pesantren di daerahnya.
Ditambah lagi, ada oknum yang meminta 'tebusan' yang tak masuk akal untuk memuluskan perkara paman Indra. Sudahlah, itu saja sudah membuat nama Polisi begitu jelek di meta keluarga Indra. Sampai-sampai setiap kali kena macet, ayah Indra selalu merutuk, "Ini polisi pada ngapain aja sih, jadi macet begini! makan gaji buta ya?".
Apalagi ibunya yang selalu mengomel saat melihat berita miring tentang kinerja polisi di negara ini. Segalanya. Apapun, rasanya tak ada yang benar tentang profesi ini.


Indra menarik napas dalam. Keluarganya 'saja' kan yang bermasalah? Baginya tidak. Indra tetap akan memenuhi janjinya untuk bersilaturrahim dengan keluarga gadis itu.

Ok, mantapkan langkah.
Bismillah...

0o0

Sepertinya bukan keputusan yang tepat mengajak si Enda dalam 'misi' penting ini. Padahal ia sudah memenuhi hak motor jadul ini. Bensin full. Mesin (sepertinya) oke. Tapi motor honda legenda keluaran tahun 2001 ini tak juga mau bersahabat dengan niatnya yang sudah bulat. Hufft. Indra harus bersabar mendorong motornya yang mogok. Padahal sedikit lagi, menurut alamat yang diberikan gadisnya itu, ia sudah akan sampai tujuan.

Indra dan Enda-nya telah sampai di desa kelahiran dan tempat dibesarkan si gadis. Indra tak menyangka akan sampai juga ia 'berpetualang' di daerah terpencil yang belum pernah ia dengar namanya itu.

Karena kepayahan mendorong motor, ia sandarkan Enda di batang pohon besar di pinggir jalan ini. sementara ia celingukan mencari bantuan. Sekedar bengkel kecil atau semacamnya. Menelpon si gadis? Ah, gengsi lah! Belum apa-apa bisa-bisa ia sudah dicap manja. Apalagi dia punya keturunan militer. Maka cepat-cepat Indra menghapus opsi paling konyol itu dalam kepalanya.

Belum lama Indra mencukupkan istirahatnya, seorang bapak mendatanginya. Dengan menaiki sepeda dan cangkul dipanggul di bahu kanannya, si bapak hati-hati memberhentikan kendaraannya di depan Indra beristirahat.

"Sedang apa, nak? Sepertinya ada masalah dengan motor kamu ya?" sapa bapak itu ramah.

"Emm, kurang tahu pak. Sedang malas saja motor ini saya ajak jalan-jalan. Manja." Ups! Entahlah. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Bapak berumur 50 tahunan itu terkekeh. "Kamu ini bisa saja. Lantas, mau kemana kamu? Sepertinya bukan anak daerah sini ya? Nyasar?"

"Wahh, jangan sampai lah pak saya nyasar, orang saya mau menjemput jodoh saya..."

Nah, loo..kelepasan lagi! Indra mengutuk mulutnya yang asal bicara.

"Anak siapa yang mau kamu jemput? Bapak hapal orang-orang daerah sini, barangkali bapak tahu rumah gadis yang kamu bicarakan.." Bapak itu membetulkan cangkul yang dipanggulnya.

"Saya mencari rumah Pak Suradi. Emm..yang polisi itu pak. Bapak kenal?" Indra juga tak mengerti kenapa lidahnya masih ragu menyebutkan profesi itu. Mungkin bayangan angker ayah gadis itu belum hilang juga dari benaknya.

Sudahlah. Ini cuma paranoid saja! Indra menenangkan diri. Toh, dia belum pernah sekalipun bertemu dengan orang tua gadis itu, membayangkannya saja baru sekarang.

"Ooh, pak suradi. Ya ya, bapak kenal... Tidak jauh lagi dari sini. Karena tidak mungkin meninggalkan motormu disini, lebih baik dibawa saja ke rumah bapak, nanti saya antar ke rumah beliau."

Belum lama Indra terbengong karena tawaran itu, Bapak itu berkata lagi "Ayo, sama-sama menuntun kendaraan manja. Sepeda ini juga sering ndak mau diajak jalan-jalan..."

Indra tertawa. Ternyata ramah sekali bapak ini.

Di sepanjang jalan, Indra menceritakan tentang keperluannya dengan gadis itu dan orang tuanya. Bapak itu menanggapinya dengan sangat baik. Sudah seperti sahabat lama saja mereka. Dan perasaan ini, yang Indra sendiri tak mampu mendefinisikannya, membuat Indra sangat terbuka menceritakan segalanya, termasuk keresahannya menemui calon 'orang tua kedua'nya itu. Begitu juga dengan si bapak, yang menceritakan kesehariannya selain di sawah. Ternyata bapak ini juga menjadi anggota takmir masjid di desa itu.

"Cuma seksi kebersihan saja kok..." bapak itu tertawa merendah. Namun bagi Indra, justru pekerjaan itulah ladang amal yang sering dianggap remeh dan tak banyak orang mau menerimanya.


Tak sampai setengah jam, Bapak yang Indra lupa tanyai namanya itu berhenti di sebuah rumah yang meskipun tak besar, tapi cukup terlihat 'beda' daripada rumah-rumah sebelumnya yang Indra lewati di desa itu.

"Silahkan mampir dulu nak. Pasti kamu capek, karena energi kita bukan hanya terkuras untuk menuntun 'kawan' manja kita ini, tapi habis juga karena kisah berepisode-episode yang kita ceritakan tadi"

Indra tertawa lagi.

"Sebentar, silahkan istirahat dulu di ruang tamu. Saya cuci kaki dulu, maklum dari sawah. Nanti ada anak saya yang mengantarkan teh buat nak Indra"

Sebelum Indra mengucapkan "tidak usah repot-repot" atau sekedar terima kasih, bapak itu sudah menghilang, masuk ke dalam rumah.

Bapak yang ramah. Seandainya saja orang tua yang akan ia temui sama ramahnya seperti itu. Ahh, bayangan angker itu berkelebat sekali lagi. Meskipun Indra dan bapak itu banyak bercerita di sepanjang jalan tadi, tapi bapak itu tak banyak bercerita tentang Pak Suradi yang katanya ia kenal.

Indra melirik jam tangannya. Sudah lewat 2 jam dari janjinya. Sekarang ia benar-benar khawatir akan kemarahan calon mertuanya itu.

Indra memberanikan diri pamit pada bapak yang baik itu. Tentunya bapak itu akan mengerti, bahwa Indra memang sedang menjalankan 'misi' penting, berhubungan dengan masa depannya. Indra tidak mau merepotkan bapak yang kelihatan lelah setelah seharian di sawah itu. Dia bisa menanyakan alamat gadisnya pada tetangga yang lain.

"Assalamu'alaikum" Indra melongokkan kepalanya kedalam ruang tamu yang kelihatan sepi.

Entah apa yang merasukinya, tanpa ada yang mengizinkan, ia nekat saja duduk didalam ruangan 4x4m itu. Toh, tadi sudah dipersilahkan.. Kata batinnya. Membela diri.

Matanya berpendar ke seluruh penjuru ruangan. Dan matanya terpaku pada sebuah foto yang terpajang cukup jelas di dinding ruang tamu itu.

Sebuah foto keluarga. Bapak itu bersama istri dan 3 anak gadisnya yang berpakaian batik rapi kecuali sang bapak yang berpakaian...POLISI! Dan lihat siapa gadis berjilbab hijau yang duduk ditengah2 foto itu. Dia gadis yang menjadi tujuannya ke desa ini.

Allahu Akbar!

Mendadak keringat yang keluar dari tubuh Indra yang semula hangat menjadi dingin. Kepalanya pening. Jantungnya berdegup tak karuan ritmenya. Indra mengulang-ulang kalimat istighfar untuk menenangkan hatinya.

Jadi bapak itu...??

0o0

Indra hanya mampu tersenyum pias menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Pak Suradi. Bapak yang telah menolngnya yang ternyata ayah pilihan hatinya.

"Yaa, bapak ya begini ini kalau sedang libur dinas. Mengurus sawah yang nanti jadi hak adiknya Sarah. Untuk biaya kuliahnya. Kalau Sarah kan sebentar lagi sudah ada kamu yang menanggung..." diakhiri tawa terbahak dari wajah berkumis lebat itu.

Huffhhh...Indra justru lega mendengar tawa lepas itu. Ternyata rencana Allah unik juga, ya?. Indra tak henti-hentinya berucap hamdallah dan takbir untuk merayakan kebahagiaan hatinya.

Dengan bangga akan ia ceritakan pada segenap keluarganya bahwa polisi tak sejelek yang mereka duga. Sosok sederhana yang juga tak kehilangan wibawanya meski tanpa seragam akan menjadi bahan obrolan hangat diantara pembicaraan keluarga Indra sore ini.

Yess! Alhamdulillah... Indra berteriak dalam hati.


#Fiksi#

Minggu, 25 Maret 2012

Mengejar Bayangan


Andien tak habis pikir, bagaimana dia harus menyakinkan abang satu-satunya itu untuk mulai membenahi dirinya. Saat itu, Andien yang sedang kalut menjawab tawaran menikah dari seorang rekan kerjanya, bertanya pada Andre, kakaknya.

“Bang…abang belum ingin menikah kah?” Tanya Andien hati-hati.

“Sudahlah, kau sudah tahu jawabanku.” Andre tidak juga memalingkan perhatiannya selain pada mesin-mesin motor yang sedang diotak-atiknya.

“Masih karena kak Della? Bang, sadarlah Bang… Kak Della sudah mau menikah dengan orang lain…” Andien menaikkan nada suaranya karena kalah bising dengan suara solder di tangan Andre.

Dziiiingg…. Suara lebih tenang ketika Andre memutuskan untuk mematikan mesin di tangannya, dan memilih untuk memerhatikan pertanyaan serius adik satu-satunya itu.

“Kamu nggak ngerti, Dien… Della itu satu. Dan satu-satunya.”
Andre beranjak bangun dan melepaskan kemeja lusuhnya yang sudah kehitaman terkena cipratan oli.

“Bang, cobalah berpikir realistis! Apa abang ingin menghancurkan hidup abang hanya karena satu wanita? Janganlah abang mengejar bayangan yang tak mungkin…”.

“Stop!” Andre mengacungkan telunjuknya sambil berteriak di depan muka Andien. “Kalau kamu mau menikah dengan Ryan, atau siapapun itu. Duluan sajalah..kenapa pula memusingkan abangmu ini. Yang mau menikah kan kamu!”

Mulai sengit. Dua orang keturunan batak karo ini sudah berdiri berhadapan. Andai saja bukan saudara sekandung, mungkin Andre sudah tak tahan mengayunkan tangannya ke muka Andien.
Andien meninggalkan Andre yang masih keras kepala. Dengan sengaja ia menendang kaleng peralatan abangnya, meninggalkan kesan marah dan kekesalan yang tertahan.

Andre mengepalkan tangannya dan meninju keras-keras ke udara.

0o0

Di kantor Andien tak mampu konsentrasi. Tumpukan resensi dan artikel di meja yang mesti ia edit sudah hampir menutupi tinggi kepalanya. Ryan yang meski tak satu divisi dengannya, menyadari hal itu, dan mengirimkan satu pesan singkat di nomor Andien.

Andien, maaf kalau mas Ryan lancang bertanya. Sepertinya Andien sedang kalut. Apa karena pertanyaan mas kemarin? Kalau iya, saya tidak akan mendesak Andien untuk segera menjawab. Pikirkanlah masak-masak. Tapi jangan abaikan pekerjaan, ya…

Triing… nada pesan masuk berbunyi di ponsel Andien. Sedikit enggan Andien membacanya. Alisnya terangkat saat ia baca 1 pesan diterima_ Mas Ryan.
Andien menarik napas dalam sebelum mengetik pesan balasan di nomor itu.
Saya sudah punya jawaban, mas. Hanya saja, sedikit ada yang mengganjal yang jadi beban pikiran.

Ponsel Andien berbunyi lagi. Kalau boleh tahu, apa masalahnya? Maaf, sekali lagi. Tapi ini kan tentang kita berdua. Jadi kalau saya bisa bantu menyelesaikan, saya usahakan. Tentang orang tua kah?

Bukan. Orang tua saya tidak keberatan. Karena menurut mereka, saya memang sudah cukup siap untuk membina kehidupan sendiri. Masalahnya ada pada abang saya. Hmm… Kalau mas ada waktu, silaturrahimlah ke rumah saya. Orang tua saya sudah menunggu.

Ryan di ujung ruangannya tersenyum simpul membaca kalimat terakhir dari pesan Andien. Tapi ia belum mampu menebak, apa gerangan yang membebani pikiran Andien. Ada apa dengan abangnya? Sepertinya memang sudah waktunya Ryan mengenal keluarga Andien lebih dekat. Dan ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Andien untuk menyatakan keseriusannya, meminang Andien, gadis yang menyita perhatiannya setahun terakhir.

0o0

Hari ini resepsi pernikahan Andien dan Ryan. Sebenarnya tak ada masalah berarti dalam mempersiapkan ini semua. Baik Ryan maupun Andien berkoordinasi dengan baik dengan orang tua masing-masing. Semuanya lancar. Hanya saja Andien tak mampu menyembunyikan rasa khawatir pada abangnya.

Della itu teman lama Andien. Dia bekerja sebagai sukarelawan di sebuah panti rehabilitasi narkoba. Dulu, atas rekomendasi Della pula, Andien menyarankan pada orang tuanya agar Andre dirawat disana, setelah mereka mendengar kabar Andre sakaw di kamar kos-nya. Andre sudah terlanjur cinta mati pada Della, yang merawatnya di panti. Andien akui, Andre yang sekarang lebih stabil dibanding dulu, dan Della memang punya andil dalam perubahan gaya hidup Andre menjadi normal. Hingga kabar pertunangan Della, akhirnya menjatuhkan harapan Andre yang sudah setinggi langit pada Della.

Andien merasa tak mungkin tak mengabarkan kabar bahagianya dengan Ryan pada sahabatnya itu. Andien juga tak mengingkari rasa bersalahnya karena ia telah menjadi penyebab perkenalan Della dan Andre, yang membuahkan petaka seperti ini.

Guratan sedihnya tertahan, saat ia melayangkan pandangannya pada Andre yang sibuk menyalami tamu-tamu Andien. Di wajah Andre terkias senyum bahagia, namun entah apa yang ada di hatinya ketika ia berhadapan dengan Della, teman Andien yang telah lama dipujanya, yang tentu saja tidak datang sendirian, melainkan menggandeng seorang laki-laki yang telah menjadi suaminya.

Ryan meremas tangan Andien, menguatkan hatinya. Andien sadar bahwa Ryan mengerti isi hatinya. Seulas senyum diberikan pada laki-laki jawa tulen yang barusan resmi menjadi pendamping hidupnya itu.

0o0

Andre dilarikan ke rumah sakit!

Tergopoh-gopoh Andien menyambar tas dan ponselnya. Untung sebuah taksi melintas di hadapannya. Taksi itu berhenti saat Andien melambai-lambaikan tangannya dengan panik.

“RS Harapan Bunda, pak!” ucap Andien cepat-cepat setelah masuk kedalamnya. “Halo, mas Ryan. Andien sedang dalam perjalanan ke RS Harapan Bunda liat bang Andre. Kalau mas sudah pulang, langsung susul ke RS ya?”

Klik. Bahkan Andien lupa mengucapkan salam.

Andien tak kuasa menahan air matanya saat menemukan sosok yang terbaring lemah di atas ranjang RS itu.

“Andre overdosis. Mama tidak tahu kalau dia mulai menjamah barang haram itu lagi.” Mama Andien menghambur ke pelukan putri satu-satunya itu.

Andien tak sanggup berkata apa-apa. Ia tak tega melihat tangan kurus abangnya penuh tusukan selang infus, dan alat bantu pernafasan yang tampak sekali-sekali berembun dihembus nafas pemakainya. Mungkin itulah salah satu indikator bahwa nyawa abangnya masih bertahan di tempatnya.

Hingga sore ini, Andien tak henti-hentinya mengiringi peristirahatan abangnya dengan lantunan al quran dari bibirnya. Lamat-lamat, itu juga yang terdengar dari Ryan yang sedari tadi juga menemaninya bersama Fira, anak pertama mereka yang masih berusia 4 tahun.

Ya, 4 tahun lebih Andre menyimpan rasa sakit itu. Sudah banyak yang dilakukan keluarganya untuk mengobati rasa sakitnya. Sudah beberapa wanita teman Andien yang Andien kenalkan pada Andre. Namun jawabannya selalu sama.
Sudahlah…kalau tak mampu mencarikan yang seperti Della, jangan lagi kamu bawa teman-temanmu itu kesini.

Sudah lelah pula Andien bersitegang dengan keputusan aneh abangnya. Masa hanya karena satu wanita, abangnya itu mengabaikan seluruh sisa hidupnya? Namun Ryan selalu bisa menenangkan hatinya. Bersyukur ia mendapatkan laki-laki jawa yang dengan sabar dan telaten menenangkan emosinya yang meluap-luap khas orang medan.

Andien masih menyesali apa yang telah dilakukan abangnya. Lagi-lagi ia merasa gagal, karena Andre lebih memilih meluapkan rasa sakitnya pada buaian barang haram itu daripada dengan adik satu-satunya.

Kadang Andien masih juga tak mengerti cinta apa yang dirasakan oleh abangnya itu? Mengapa harus seperti ini. Cinta memang tak realistis, tapi kenapa juga harus membutakan penikmatnya? Kenapa Andre masih juga bertahan untuk mengejar bayangan yang tak mungkin ia dapatkan??

Andien tersadar dari lamunannya saat tangan kecil Fira, anaknya, menggoyang-goyangkan lengannya.

“Bunda…Kenapa alatnya berbunyi Tiiiiit… lamaa sekali?” Fira menunjuk kotak diatas meja rawat Andre yang monitornya menggambarkan garis lurus, tanda hilangnya sinyal detak jantung si pemakainya.

Andien tersentak, dan meraih tangan abangnya.

Dingin.


#Fiksi#

Minggu, 26 Februari 2012

SESEORANG YANG KUSEBUT DIA “AYAH”


Seseorang yang kupanggil ia dengan sebutan Ayah. Mungkin harusnya aku membencinya. Karena dia sangatleh berbeda dengan ayah-ayah lainnya, yang dibangga-banggakan oleh anaknya karena perhatiannya, kasih sayangnya, dan juga wibawanya. Bagaimana aku tidak membencimu, sedari kecil kau memperlakukanku seperti pembantu ketiga, selain Bi Minah dan juga Mama. Bagaimana aku dapat membanggakannya, karena memang benar dia sungguh berbeda dengan ayah teman-temanku. Ayah yang selalu mengantarkan mereka dengan senyuman dan lambaian tangan dibalik kaca mobil di depan sekolahku. Ayah yang selalu merangkul dan memeluk anaknya untuk memberikan selamat atas prestasinya di akhir semester dan yang telah menyiapkan berbagai hadiah dan kejutan untuk membahagiakan anak mereka. Sedangkan ayahku, jangankan untuk mengantarku setiap hari, sekedar untuk melihat indahnya barisan angka 9 di raporku saja ia tak sempat.

Mungkin dia yang pertama harus disalahkan, jika akhirnya aku pun tak memiliki teman meski seorang. Karena ia yang mengajariku demikian. Hidup dalam keegoisan dan kesendirian. Sahabat hanyalah alat bantu untuk memudahkan pekerjaan. Maka lihat saja Renny, Cessil, Liona yang awalnya malas berdekatan denganku, dalam waktu setengah semester bisa langsung menjadi ajudan-ajudanku karena kujanjikan liburan ke Bali bersama di hari ulang tahunku. Hahaa…itu juga tidak lama, karena seusai tugas kelompok yang kukerjakan dengan mereka selesai, mereka pun kulepaskan. Jangankan untuk menjemput mereka dengan mobil pribadiku seperti biasa, rengekan untuk meminjam uang padaku pun tak kuhiraukan. Teman adalah alat bantu. Selesai.

Dia juga yang harus dipersalahkan jika akhirnya aku tak mengenal cinta. Karena pertama kalinya aku menyukai seorang laki-laki karena kebaikannya, dan kebijaksanaannya yang tak kutemukan pada sosok ayahku, dengan mudahnya dia patahkan dengan mengusir laki-laki itu saat kali pertama aku mengajaknya berkunjung ke rumahku. Bahkan dengan angkuhnya mengatakan untuk berhenti berharap banyak pada putrinya karena ia tidak akan membagi hartanya sepeser pun pada menantunya nanti. Dan kejadian patah hati untuk pertama kalinya itu pun sukses membuatku dilarikan ke RS karena kenekatanku menenggak sebotol racun serangga di kamarku.

Jika ada orang yang mengenal ayahku terlebih dahulu kemudian melihatku, maka dengan mudahnya mereka akan mengenaliku sebagai anaknya. Karena aku mewarisi segala karakternya. Keras kepala, tak punya hati, dan segala sandangan negative yang hanya pantas diberikan pada tokoh antagonis dalam film atau pun sinetron. Bagaimana aku tidak terbentuk seperti itu, aku dilahirkan dan dibesarkan di tengah lingkungan yang kejam. Adegan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi tontonan lumrah di mataku. Melihat mama menangis di sudut kamarnya dengan pipi yang membiru tak lagi membuat runtuh hatiku. Justru semakin membuatnya keras membatu. Semakin dan semakin membenci laki-laki yang tertulis sebagai wali di akta kelahiranku itu.

Aku masih mengasihani mama yang hidupnya telah sukses dihancurkan oleh seorang laki-laki yang sayang sekali ditakdirkan menjadi suaminya. Beberapa kali aku memintanya untuk menyerah. Tidak ada gunanya lagi bertahan dengan siksaan lahir batin berkepanjangan seperti ini. Namun ia selalu menyanggah,” Bagaimana pun mama masih mencintai ayahmu”. Kemudian aku baru menyadari, mamaku tak hanya malang nasibnya, tapi ia juga bodoh, dibodohi oleh cinta. Saking bodohnya, mama hanya terdiam saat datang seorang wanita muda membawa seorang anak laki-laki 3 tahunan kerumahku, mengaku sebagai istri siri ayahku. Justru aku yang mengumpat-umpat. Bagaimana bisa dia mendatangi wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya dan meminta belas kasihan untuk membeli susu anaknya?! Munafik. Sok lemah, padahal dia dengan gincu dan baju seksinya telah menarik laki-laki satu-satunya di rumahku untuk berselingkuh dengannya. Aku tak habis pikir, untuk apa mama masih mau menangisi suami yang jelas-jelas sudah menghancurkan masa depannya. Ternyata, baru aku menyadari, wanita yang kukira superwoman karena berhasil bertahan dari kekejaman ayahku ini tak lain hanyalah wanita yang tak mampu bertahan hidup miskin. Dia memilih untuk terus-terusan sakit hati, tapi masih bertahan di rumah mewah ini, dibanding dengan nekat meninggalkan ayahku yang pernah mengancam takkan memberikan harta gono-gini. Pelajaran ini membuatku sadar sepenuh hati, cinta itu bodoh dan membodohi.

Nyatanya, apa yang dipertahankan mamaku tak selamanya abadi. Tak lama setelah ayahku memilih untuk menceraikan istri keduanya yang tak henti-hentinya memeras keluargaku, ayahku ditangkap polisi atas tuduhan penggelapan uang perusahaan. Rumah, mobil, dan seluruh asset kekayaan keluargaku disita sebagai barang bukti. Mama hanya pingsan mendengar keputusan hakim di persidangan itu. Selanjutnya aku hidup di sepetak kontrakan hasil menjual kalung berlian yang melingkar di leherku.

Rasanya malas mengunjungi laki-laki yang sayang sekali harus kuakui sebagai ayah itu lagi. Namun, panggilan dari kehakiman tak urung membuatku mau juga mendatangi lapas yang memenjarakan ayahku ini. Rupanya tak habis sampai disitu penderitaan yang dituai oleh laki-laki itu. Ayahku tertangkap basah sakaw di ruang penjaranya. Hanya 2 bulan setelah masa hukumannya. Padahal yang kutahu, atau setidaknya keterangan dari polisi bahwa ayahku bukanlah pemakai narkoba saat ia masuk lapas ini. Namun ternyata ia tak mampu membendung godaan mafia-mafia kokain diantara kamar-kamar hotel prodeo ini. Hamper saja aku menyangkalnya dari polisi bahwa itu ayahku, karena aku tak lagi mengenalinya sekarang. Dengan mata sayu, dan tubuh yang sulit tegak karena pengaruh obat-obatan haram yang sedang meracuninya. Dengan menyerahkan uang terakhirku bulan itu, aku pasrahkan pengobatan ayahku di panti rehabilitasi yang difasilitasi oleh kehakiman yang menghubungiku sebelumnya.

Aku membencinya. Dari dulu aku membencinya. lidahku kelu untuk memanggilnya “ayah”. Ingin kuhapus nama-namanya di rapor dan ijazah-ijazah sebagai waliku, karena sungguh dia jauh dari tindakan bertanggung jawab, apapun yang dilakukannya. Rasanya jika aku memiliki timbangan untuk membandingkan kebaikan dan kekejamannya dalam hidupku, maka akan sulit mengharapkan itu akan seimbang. Yang pasti berat timbangan kekejiannya. Aku malu mengakui diriku sebagai anaknya. Aku muak melihat wajahnya, karena setiap kali mama menyebutnya, yang terlintas adalah muka telernya saat sakaw kemarin.

Bahkan, hingga akhir hayatnya…

Aku memilih untuk tidak mengunjunginya kembali dip anti rehabilitasi meski dikabarkan bahwa ayahku terkena serangan jantung dan keadaannya kritis. Dengan culasnya aku berkata pada mama “semasa hidup saja sudah merepotkan, sekarang mau mati masih mau merepotkan juga?”. Dan mamaku hanya mampu menangis dan mengurut dada mendengar penuturanku.

Namun, disini… di pusara terakhir dikuburkannya ayahku untuk selamanya, aku tak mampu memakinya. Aku tak mampu mencaci namanya. Aku tak mampu mengatakan jutaan kekecewaanku di semasa hidupnya. Bahkan aku tak mampu membendung tangis yang mengalir, menganak sungai di pipiku.


“Sophie…datangilah ayahmu, nak… di akhir hidupnya dia hanya menyebut namamu. Kamu yang diharapkan dapat dilihatnya terakhir sebelum menjemput ajalnya. Kamu putrid satu-satunya. Kamu yang ingin ditemuinya saat ia meregang nyawa. Kamu yang ingin dipeluknya untuk terakhir sebelum meninggalkan dunia. Untuk menyampaikan rasa berdosanya selama ini telah menyia-nyiakan dirimu selama ini… Kasihani ayahmu, nak…”ucap mama sembari menyerahkan selembar surat berisi tulisan tangan ayahku.

Tangisku pecah. mulutku tak henti-hentinya menyebut namanya. Dia yang kusebut sebagai Ayah…


Sophie, putriku…

Ingin rasanya aku memelukmu … bahkan jika engkau ijinkan, aku akan bersujud meminta maaf padamu, nak…

Maafkan aku…yang tak pantas menjadi panutan di keluargamu…

Bahkan aku malu menyebut diriku “ayah” di hadapanmu, atas kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan sepanjang hidupku…

Sophie, maafmu akan melepaskan belenggu rasa berdosa yang mengikat ragaku…

Bebaskan aku untuk menjemput pintu ajalku…

Sebelum nanti akhirnya aku pun dihakimi di hadapanNya, ijinkan aku mengucapkan sekali lagi…

Tidak, seribu kali lagi…sejuta kali lagi…hingga bibirku benar2 terbungkam untuk selamanya…

Maafkan aku, anakku…


-Ayahmu –

Jumat, 03 Februari 2012

Sweet words about love...^^

Kau mencintaiku
Seperti bumi
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Menanggung beban derita
Tak pernah lelah
Menghisap luka

Kau mencintaiku
Seperti matahari
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah
Menghangatkan jiwa

Kau mencintaiku
Seperti air
Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah
Membersihkan lara
Tak pernah lelah
Menyejukkan dahaga

by : Ayatul Husna (KCB)



>>Klo kata mb' Anna ALthofunnisa' bgini, nie...

Sekalipun CINTA telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar.

Namun jika CINTA kudatangi, aku jadi malu pada keteranganku sendiri.

Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.

Namun tanpa lidah,

CINTA ternyata lebih terang

Sementara pena begitu tergesa gesa menuliskannya

Kata kata pecah berkeping keping begitu sampai kepada CINTA

Dalam menguraikan CINTA, akal terbaring tak berdaya

Bagaikan keldai terbaring dalam Lumpur

CINTA sendirilah yang menerangkan CINTA dan perCINTAan


>> nice, nice, nice...
melting gw...:p

Kamis, 19 Januari 2012

Kinan's Diary : "and the story goes..."

--24 September 2011--
Kinan membuka pintu kontrakan mungilnya, seolah tidak sabar mempersilahkan udara pagi menyapa wajahnya.
Ini sudah memasuki hari ke-14 bagi penelitian Kinan. Bukan sih, sebenarnya Kinan hanya ikut ke dalam tim penelitian dosennya tentang kebudayaan masyarakat Tengger di sebuah desa kecil di Pasuruan, Jawa Timur.
Hari ini, bagi Kinan adalah hari biasa saja. Tapi justru menjadi tidak biasa ketika ia mendapati beberapa sms dan telepon masuk tadi malam, ketika memasuki jam 00.01 WIB. Seperti yg sudah ia duga, pengirim sms2 itu tak lain adalah orang yang telah lama ia 'abaikan'. Hemmhh...di recent call saja ia masih melihat nama itu. Dia yang namanya tak boleh disebut.
Kinan memakai kaos kaki dan sandal gunungnya. Tracking?. Nggak,lah... Nggak sepagi ini juga. Kinan hanya ingin menikmati keindahan panorama Tengger yang masih asri. Tidak seperti kota tempat ia menuntut ilmu.

Baru saja ia melangkahkan kaki keluar dari halaman rumahnya, wajahnya mendadak berubah ketika menangkap sosok yang sudah lama ia kenal. Orang yang tidak ingin dilihatnya saat ini.
"Pagi, Kinan..." senyumnya yang khas menyapa Kinan yang tak terdefinisikan bagaimana roman kagetnya.

"Kamu? ngapain disini?" Kinan berusaha menahan nada bicaranya, tak ingin terkesan tinggi.

"Iseng. Ya ga mungkin lah aq nyasar sejauh ini dari Malang." Laki-laki itu masih saja tersenyum. Bahkan seolah menahan tawa melihat betapa lucunya muka Kinan yang terkaget-kaget seperti sekarang ini.

"Trus? tujuannya kemari?" Kinan masih saja mengerjap-kerjapkan matanya, berharap makhluk di depannya itu hanya ilusi dan menghilang setelah ia membuka mata.

"hahaha...Kinanti..Kinanti, kamu masih aja lucu ya, kayak biasanya... Ya apalagi tujuannya kalo ga nemuin kamu? Emang aku punya alibi lain?"
Bego! Kinan merutuki dirinya sendiri. Ngapain juga ditanya. Selama ia mengenal orang ini, setahu dia Adrian memang nggak punya sodara di Pasuruan dan sekitarnya.

"Trus, kamu tahu alamatku dari mana?" Kinan sudah tidak dapat menyembunyikan wajah tidak sabarnya. Tidak sabar melihatn orang ini segera enyah dari pandangannya.

"Menurutmu?" Adrian masih saja menggodanya,"intuisi, neng...pake perasaan"

Hueekk!!, Kinan hampir saja mual mendengar gombalan ga mutu itu sekali lagi. Emangnya dia bakalan percaya. Iya kalo Kinanti jaman baheula, yg dgn mudahnya percaya dengan kalimat-kalimat ga logis kayak dulu. Emang jantung ada GPS-nya apa?? Atau..Kinan mulai curiga, jangan2 ada yang memasukkan chip tertentu dalam tas-nya, sehingga Adrian dengan mudahnya mendeteksi lokasinya. Hahh...Gila! emang-nya ini film action hollywood?? KInan menggoyang-goyangkan kepalanya.

"Ehh, emangnya enak, ya ngobrol sambil berdiri begini?" Adrian buka suara lagi.

"Emang kamu berniat berapa lama disini?" Kinan keluar jutek aslinya.

"Deuu...segitunya kalo ngusir. Nggak kasian apa, aq naek motor bgini dari jauh, bukannya disuruh duduk dlu...malah udah ngusir2" protes Adrian.

Lalu Kinan mengambil posisi duduk di kursi kayu panjang di halaman rumahnya. Tanpa disuruh, Adrian juga duduk disamping Kinan. Menyadari hal itu, Kinan bergeser menjauh.
"Iya, iya...aq juga ga akan deket2 kok sama kamu. Ngerti deh, bukan muhrim, kan? Tapi jangan minggir2 dong,ntar kamu jatoh lagi"

"Gini aja udah bisa timbul fitnah tau" ucap Kinan, masih sama ketusnya.

"Kamu kenapa sih, ga pernah baik sama aq? Masih panjang juga list kesalahanq sama kamu. Permintaan maafq tiap hari itu ga bisa juga menebusnya?" Adrian protes lagi, mulai tidak sabar dengan sikap Kinan.

Kinan diam.

"Oke, sekali lagi. Aq minta maaf. Aq bingung aja, seberat apa sih dosaq sama kamu, sampe kamu ga bisa lagi berubah jadi baik sama aq? Ini Kinanti yang dulu aq knal bukan sih? yg selalu menanankan nilai-nilai kebaikan sama aq, mengingatkan untuk terus bersabar klo aq mulai tempramen" kali ini Adrian benar2 panjang-lebar. Kinan agak terkejut. Laki-laki di sampingnya kini sudah berubah. Bukan lagi kapten basket yang dulunya cool dan terkesan acuh, tapi justru sekarang seperti salesman yang ga brenti2 muji dagangannya.

"Iya, trus sekarang maunya apa?" Kinan menata kalimatnya. Juga nada suaranya. Dia ambil 1 oktaf sedikit lebih rendah.

"ga banyak kok...cuma mau ngasih ini" ADrian mengambil kotak warna pink dari tasnya. "Selamat ulang tahun, kamu meski di pedalaman gini masih inget tanggal kan?" Adrian mulai melucu lagi, tapi tak juga berhasil membuat Kinan tertawa.

Kinan ragu menerimanya. Sebenarnya hal seperti ini mungkin sudah sangat wajar baginya. Setiap tahun, orang ini selalu membuat 'kejutan' yang alhirnya tak mengejutkan lagi buat Kinan. Tapi, dibela2in menemuinya dengan perjalanan yang cukup berat dengan sepeda motor, sendirian. Yang ini yang belum terpikir oleh Kinan hingga 15 menit yang lalu.

"Kamu masih nggak mau nrima,Kin?" Muka Adrian memelas.

Akhirnya Kinan membuka tangannya, meraih kotak dari tangan Adrian itu. Terpaksa.

Rrrr...Rrrr... Ponsel di tangannya bergetar. Dari Ovy.
"Kak, Kak Adrian ke tempat kakak sekarang?" begitu bunyi sms-nya.
Dahi Kinan berkerut, memandang layar HP-nya dan Adrian bergantian. Adrian salah tingkah. Oohh, sepertinya Kinan tau sekarang kenapa Adrian bisa ada disini. Bagaimanapun, lokasi penelitiannya itu jauh dari kota 20km dari kecamatan, 10km dari jalan raya. Dengan medan seperti ini, dan keterbatasan akses informasi, bagaimana bisa Adrian dengan mudah menemukannya??

Kinan membalas sms adiknya,"Kamu kasih tau Adrian alamatku?? Tega ya kamu!" dengan teramat kesal dia memencet tombol OK di layar HP touchscreen-nya. Adrian menatapnya bingung.

"Kamu sogok pake apa Ovy biar mau kasih alamatq disini?"

Adrian semakin salah tingkah,"Ovy kasih tau kamu?? Emm...Kin, please ya..jangan marahin Ovy. Dia juga terpaksa kok kasih tau aq. Sebenernya dia keceplosan aja sie waktu cerita kamu ada penelitian disini, akhirnya aq mohon dia ngasih alamat kamu. Dia cuma ga tega aja kok sama aq, jangan benci adik kamu ya?"

Ihh, pede amat! yang ada juga gue benci sama lu!, batin Kinan.
"Yauda, sekarang kan tujuan kamu uda terlaksana kan? Ada lagi?"
Sumpah. Kinanti sepertinya sudah agak lupa tentang adab-adab kesopanan menghadapi tamu kalo tamunya seperti ini.

"Emm...sekalian aq mau pamitan, Kin" nada suara Adrian melemah lagi.

Kinan sudah malas mendengar yang seperti ini. Bukan baru sekali Adrian memakai teknik seperti ini untuk meruntuhkan pertahanannya.

"Kemana?" Hufft! kenapa mesti tanya juga? teriak batinnya.

"Aku diterima kerja di luar jawa, kemungkinan berangkat bulan depan"
Oohh, wajar sih..dia kan udah lulus. Trus kenapa?

"Sebenernya ada tawaran juga sih di Jawa. Tapi...mungkin emang lebih baik kalo aq pergi jauh.
Menjauh dari orang-orang yang tidak menginginkanku lagi"

Naahhhh...tu dia tau!

"Kenapa merasa seperti itu?" Kinan berusaha mendatarkan suaranya. Supaya Adrian tidak terlalu berharap bahwa Kinan akan mengkhawatirkan kepergiannya.

"Hemmh...aq blom cerita ya, kalo rumah tangga orang tuaq menjelang kehancuran?" suara Adrian tertahan, seperti tercekat di tenggorokan.

Gimana mau tau, baca sms kamu aja males. pikir Kinan. Eh,tapi maksudnya...Divorce??
Kinan mengubah arah pandangannya, yang sedari tadi membuang muka dari laki-laki itu, jadi menatap Adrian bulat-bulat. Memastikan dia tidak salah dengar.

Dan Adrian mulai menceritakan kondisi keluarganya. Kinan menjaga sikapnya, agar tetap tidak terkesan 'terlalu peduli' dengan cerita Adrian. Tapi rencana perceraian orang tua Adrian mau nggak mau membuat dia simpati juga.

"Kamu juga seneng kan, Kinan...Karena ga harus melihatku lagi?"

Pertanyaan jebakan.

"Yaa...yaa, nggak segitunya juga sih. Aku emang menghindar dari kamu, tapi bukan berarti aku membenci kamu kok.." Kinan terbata-bata.

Nah,loo...kenapa jadi kontras dengan hatinya gini??

Adrian langsung turun dari kursi kayu dan bersimpuh di depan Kinan. Tangannya dijulurkan.
"Eh, mau apa kamu?" Kinan waspada. Spontan menarik tangannya kebelakang tubuhnya.

"Makasih ya Kin, kamu masih peduli sama aq. Semenjak kaluargaku bermasalah, aku udah kehilangan kepercayaan bahwa masih ada yang oeduli sama aq. Ayahku meninggalkan kami karena wanita lain, ibuku yang sudah sangat lelah memutuskan untuk menggugatnya untuk bercerai, tanpa memikirkan bagaimana perasaan anak2nya"

Merasa tidak nyaman dengan posisi seperti ini, Kinan menggeser tubuhnya menjauh dari hadapan Adrian, karena tubuh mereka berhadapan dengan jarak yang tak lagi jauh.

"Emm..yauda...Aq nggak tau bisa bantu apa. Yang jelas, sebagai temen kamu, aq cuma mengingatkanmu untuk bersabar. Aq yakin, ibu kamu, yang kulihat disini sebagai 'korban' bukannya benar2 tak memperdulikan kamu da yang lainnya, wanita itu pasti akan selalu mengedepankan perasaannya dan orang2 di sekelilingnya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Khusnudzon aja, mungkin ini yang terbaik. Kalo mau dipertahankan juga kasian ibu kamu, kan? tersiksa batinnya. Tapi kamu juga jangan membenci ayah kamu, mungkin beliau khilaf. Bagaimanapun lebih baik menikah lagi daripada terjadi perzinaan.." Kinan memelankan kalimatnya terakhir, takut menyinggung lawan bicaranya itu.

Adrian tersenyum kecut.
"Aq uda nyangka kamu bakalan ngomong seperti itu, Kin. Kamu selalu mengajarkanku untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang positif. Itu yang aq salut dari kamu. Tapi maaf, mungkin aq blum bisa sesempurna itu menilai ujian ini. Bimbing aq terus ya Kin?"

Lahh, kok...?? jangan2 salah paham orang ini!, Kinan terdiam, tapi pikirannya protes.

"Hemm...mesti sabar ya Kin? Okelah, aq akan sabar, Insya Allah...sesabar aq menunggu kamu. 7 tahun itu bukan waktu yang sedikit lho, Kinanti. Kamu mau sampai kapan menguji kesabaranku?" goda Adrian.

Kinan berjengit dari kursinya. Merasa ini benar2 tak nyaman.
"Jangan berpikir yang aneh2! Jangan berharap banyak ya...Aku, aku..cuma teman kamu disini" Kinan salah tingkah. Merasa menyesal menasehati laki-laki itu barusan.

"Hahaha, Kinanti..Kinanti...aq suka lihat kamu salah tinglah gini. Aq becanda aja kok. Aq juga ga maksa kamu sekarang. Kamu masih punya tanggungan lulus kan? Itu aku sudah tau. Makanya, sembari menunggumu lulus, aku berkarir dulu. Ok, tunggu aku tahun depan ya! See you! " Adrian menyalakan motornya, dan melaju bersama suara deruman motor yang semakin lama semakin hilang.

Kinan menghela napas panjang. Kenapa seperti ini, Yaa Allah...??

"Kurang apalagi sih, dari Adrian? dia sudah cukup sabar mnunggumu, lho Kin.." Suara Hilda mendengung2 lagi di telinganya.

Ahh! Dia itu sudah membuat Kinan trauma. Cinta pertama yang menyakitkan. Bukan untuk Kinan, tapi orang tuanya. Yang tak pernah sedikitpun dibantah ucapannya oleh Kinan. Yang sangat dia cintai dan hormati. Yang menjunjugnya sudah menjadi kewajibannya setelah Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia penyebab untuk pertama kalinya satu-satu ibu yang Kinan sayangi menangisi karena pemberontakan Kinan. Dia penyebab ayah Kinan, laki-laki paling sabar dalam hidupnya, menjadi merah mukanya menahan amarah karena tak percaya putri kesayangannya telah menghancurkan kepercayaannya. Dia yeng membuat Kinan merasa sangat bersalah karena telah memutuskan untuk berpacaran dan mengabaikan nasehat2 orang tuanya. Dia itu Adrian.

Bukan hanya itu. Kenyataan yang membuka mata Kinan membuatnya tak sekedar illfeel tapi tlah mulai membenci Adrian. Kebohongan demi kebohongannya. Janji2 palsunya. Gila! Kinan jadi tak habis pikir bagaimana bisa dia jatuh hati pada laki-laki itu!

Astaghfirullahaladziim...
Kinan berusaha menguasai dirinya dari bisikan iblis yang mengomporinya. Adrian juga manusia biasa. Dia bisa khilaf. Kinan tak ingin terlalu membencinya kini. Meski ada sedikit keraguan tentang orisinalitas gambaran keluarganya saat ini. Tapi Kinan tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa dia iba. Adrian adalah teman lamanya. Dia masih menyayanginya. Sayang karena Allah. KArena dia seorang muslim juga. Bagaimanapun, dia ingin Adrian berubah. Bukan untuk Kinan, tapi untuk dirinya sendiri.

Ponselnya bergetar lagi. Ovy lagi.
"Kak, maafin aq yaa... :-("

Kinan membalas,"Iya. Udah gpp. Lain kali jgn diulang ya sayang.. Km tau kn adrian bagaimana, dan bagaimana juga kakak sama dia?"

Tak lama Ovy membalas lagi, "Iyaa...maaf :-( Eh, Kak...Kak adrian sms lagi nie..ktanya 'haduuh, perjalanannya lama tapi ga imbang sama waktu ktemuannya', hihihi...pgen tak sukurin aja tu kak, tapi jgn dehh...enaknya dibales apa ya kak?"

Kinan menghela napas sekali lagi. Dasar Abege!, rutuknya. Dia harus menyadari bahwa adiknya masih 15 tahun dan akan sangat tertarik dengan cerita2 picisan semacam ini. Bagi Kinan yang sudah beranjak kepala dua, hal seperti ini bukan lagi hiburan, malah jadi beban pikiran yang kadang masih saja menghantuinya.
Kinan memutuskan untuk kali ini tidak membalas sms terakhir dari adik semata wayangnya. Baginya sudah cukup kejadian pagi ini membuat dia akan sulit membangun mood dia seharian.

Hufft...sudahlah Kin, Adrian itu bagian dari masa lalumu. Bagaimanapun kamu lari memungkirinya, dia tetap saja pernah hadir dalam hidupmu. Tapi yang lalu biarlah berlalu. Dan kisah baru sudah menantimu...

Kinan mengambil handuknya. Berharap siraman air yang dipakainya mandi itu mampu melunturkan kegalauannya pagi ini.

Senin, 09 Januari 2012

Yang Terbaik Bagimu...



Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak

Reff:
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu

Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati


Minggu, 08 Januari 2012

NIce quotes...#2

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yg tegak di puncak bukit,Jadilah belukar,tetapi belukar yang baik,yg tumbuh di tepi danau,Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,jadilah saja rumput,tetapi rumput yg memperkuat tanggul pinggiran jalan,Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya,jadilah saja jalan kecil,tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air.

Pada dasarnya manusia itu diciptakan dengan sejuta potensi. Namun, Einstein saja mengatakan bahwa, kebanyakan manusia hanya memanfaatkan 10% dari kekuatan otaknya. Bayangkan jika kita mampu memanfaatkan lebih banyak potensi kita! Mulailah dengan mensyukuri apa yg kita miliki. Merasa kurang itu boleh, jika konstruktif. Karna manusia itu makhluk yg senantiasa berproses, belajar. Tapi jika perasaan kurang itu hanya berujung pada rasa iri berlebihan dan menumbuhkan benci. Tepis rasa itu dan berpuas dirilah dgn apa yg kamu miliki saat ini. Alhamdulillah...

Bagaimanapun kondisinya, dimanapun tempatnya, teruslah memposisikan diri menjai bagian yg konstruktif, membantu dgn ap yg kita bisa lakukan, jikalau memang tak ada yg bisa diusahakan (dgn tenaga, pikiran, dll), bantulah dengan dukungan moril dan doa yg ikhlas untuk hasil yg terbaik.

Jika ada orang yang senantiasa menyiksa diri dengan memaki dirinya sendiri, menganggap dirinya tak berguna. Ingatlah akan ancaman Allah ttg orang yang ingkar nikmat. Na'udzubillah...

Selasa, 03 Januari 2012

Jingga di Penghujung Senja




"Dasar lu anak kagak tau diuntung...uda baek gue mau ngurusin anak2 bandel macam lu berdua, giliran disuruh kerja aja malesnya kgak ketulungan. Udah, pergi aja lu sono yang jauuh...kagak usah ngeliatin batang idung lu berdua lagi ke gue. Pergiii!!!" terdengar suara lengkingan tinggi berkepanjangan dari ujung perkampungan kumuh di sudut kota metropolitan, Jakarta.


Dua orang gadis berusia 8 dan 6 tahun itu tengah berjalan terseok-seok menyusuri pinggiran kota Jakarta. Kata orang kejamnya ibu tiri tak lebih kejam daripada kota Jakarta. Tapi dalam hati kedua bocah itu saat ini memanjatkan doa, bahwa ungkapan itu tidak benar. Mereka masih berharap, ibu kota ini masih menyimpan iba pada anak piatu yang baru saja terusir dari rumah mereka sendiri itu.
Salah seorang gadis yang lebih muda itu berhenti dari perjalanannya. Sang kakak ikut berhenti. "Jingga kenapa?"
"Jingga capek, kak...sampai kapan sih kita mau jalan kaki begini?" keluh si adik.
"Sampai kita ketemu tempat berteduh, sayang... Jingga masih kuat kan?" Si gadis sulung itu meletakkan tangannya di kepala adiknya.
"Jingga lapar kak..." kini si adik mulai merengek, memegangi perutnya.
Sang kakak yang sebenarnya merasakan hal yang sama, meraih kedua pundak adik semata wayangnya. "Sabar ya, sayang...sebentar lagi. Itu, kamu lihat ada pertokoan kan? kita istirahat disana, ya? Kakak janji akan cari makan setelah kita bisa istirahat disana. Setuju?"
Jingga mengangguk lemah.


Si gadis sulung yang bernama Senja itu memunguti karton2 besar yang ia temukan di depan teras toko elektronik tempat mereka berteduh. Meratakannya, menggelarnya untuk istirahat mereka berdua yang telah 3 jam berjalan tanpa tujuan dari rumah mereka sendiri.
Senja menidurkan adiknya di pangkuannya. Meninabobokkan adik kesayangannya seperti biasa yang ia lakukan di rumah. Hanya saja sekarang sedikit berbeda. Mereka tidak lagi berada di kamar yang meski sempit tapi nyaman. Tapi di emperan toko. Sudah bisa dipastikan, angin malam yang berhembus nanti akan dengan mudahnya menyelisip masuk melalui pori-pori kulit mereka. Bahkan jikalau nanti hujan, maka jelas mereka akan basah kuyup, tak mampu melindungi diri mereka dari guyuran air langit.
Ahh, tapi sudahlah. Yang nanti terjadi, terjadilah...toh belum pasti juga itu terjadi. Yang pasti sekarang rasa lelah yang amat sangat, menyergap, membuat mata Jingga berat dan menutup meninggalkan malam. Tak perduli lolongan anjing penjaga toko emas seberang jalan mengusik mereka. Jingga sudah asik melanglang buana dalam mimpinya.

Sementara Senja yang duduk bersandar pada tembok toko elektronik itu tak juga dapat memejamkan matanya. Bukan suara anjing besar yang menyalak itu yang mengganggu pikirannya. Tapi bayangan wajah seram ibu tirinyalah yang menghantui relung pikirannya.


"Babe mau kawin lagi. Lu setuju kagak?" tanya laki-laki separuh baya yang tertulis namanya di akta kelahiran Senja dan Jingga itu.
Senja diam. Tak mampu membantah, hanya saja ada tolakan halus di dalam dadanya. "Kenapa, Be?"
"Lu kagak tau aje...hidup sendiri tanpa Nyak lu itu bukannya gampang. Gue bukannya berat ngurusin lu sama adek lu. Tapi, rumah ini sepi kalo kagak ada perempuan yang dampingi babe, juga ngerawat lu berdua."terang laki-laki itu sambil menghirup kreteknya.
Senja enggan berlama-lama di teras kecil rumahnya itu. Hatinya tak lagi nyaman dengan pembicaraan ini. Dia pamit masuk ke dalam rumahnya dengan takzim.
"Eh, lu...Lu mau kagak punya Nyak lagi?"
Senja berhenti melangkah, tapi tak juga berbalik menghadap ayahnya.
"Ini semua juga buat ngebahagiain elu berdua, bukan cuma buat babe" kilahnya.
Senja mengambi napas panjang, "Terserah babe" jawabnya pendek.
Dan laki-laki itu tersenyum puas atas jawaban putri sulungnya itu. Perduli setan apakah jawaban itu ikhlas atau tidak, yang jelas malam ini dia akan menemui perempuan yang ia janjikan kebahagiaan bersamanya itu.



"Kak...kak, kakak belum tidur?" Jingga membuyarka lamunan Senja.
"Belum. Kamu..." Senja menghentikan kalimatnya karena tak mau mengingatkan lagi bahwa perut mereka memang kosong seharian ini. "Kamu kenapa bangun?" Senja mengalihkan pertanyaan.
"Jingga inget Nyak, kak... Kira-kira, kenapa ya Allah ngambil nyak dari kita? Allah marah sama kita? Apa Allah nggak sayang sama Nyak?" tanya gadis 6 tahun itu lugu.
"Justru, Allah sayang banget sama Nyak, makanya Allah ambil Nyak duluan. Allah pengen lindungi Nyak dari susahnya hidup" terangnya bijak.
"Tapi Allah kan ga sayang sama kita. Nyatanya, Allah ngasih nyak baru yang galaknya minta ampun. Nih, Jingga kemarin disambit kemoceng sama dia. Ugghhh...sakit,kak" Jingga meratap.
"Sabar ya jingga. Yang penting kan sekarang kita udah nggak disakitin lagi sama Nyak Tiwi. Udah, jangan punya pikiran jelek sama Allah. Nggak baek"
"Kak, Nyak ada dimana ya sekarang? Hidupnya enak nggak?"
Senja menghela napas. Bingung mesti seperti apa menjelaskannya.
"Nyak di tempat enak sekarang. Tempat yang kita nggak bisa liat..."mata Senja menerawang. Menembus pekatnya langit malam. Sesekali menarik napas dalam. Dia membayangkan, bagaimana kalau ayah mereka tahu putrinya tak lagi ada dirumah? Marah kah pada istri keduanya? Atau diam saja saat istrinya itu berkilah putrinyalah yang tak bisa diatur. Kemungkinan kedua inilah yang paling sering membayangi pikirannya. Sepertinya ayah mereka lebih sayang pada istrinya daripada 2 buah hati titipan Ilahi ini. Dan itu cukup membuat dada Senja sesak, dan dia pun mulai terisak dalam diam.


"Heh! anak-anak gelandangan! ngapain lu ngotorin teras gue?? pergi sono lu! bisa2 pelanggan gue jadi males masuk gara-gara lu berdua. Gih, sono jauh-jauh..." si empunya took datang dan langsung mengusir mereka.
Senja yang terbangun karena goncangan keras di bahunya segera tersadar. Dia tepuk2 pipi adiknya, membangunkannya. Jingga masih mengerjap-kerjapkan matanya, tapi segera berdiri karena rupanya si pemilik toko sudah datang kembali dengan sapu di tangannya. Mereka lari tunggang-langgang, seperti kucing liar yang terpergok mencuri ikan asin.

Hari kedua, setelah terusirnya kakak beradik itu dari rumah mereka sendiri.
Kini mereka berada di tempat yg lebih nyaman. Setidaknya tidak di pelataran toko elektronik yang pemiliknya tak bisa lagi memanusiakan mereka. Di teras bekas bioskop di pusat tempat kuliner di kota besar itu. Perut mereka pun tak lagi kosong. Senja menemukan beberapa makanan sisa di tumpukan karton pizza di ujung jalan itu. Dan tak ada yang bisa mereka lakukan lagi, selain membiarkan hari lewat begitu saja. Hanya berharap mereka bisa melalui hari ini, besok dan seterusnya bersama. Ya, mereka masih terlalu kecil untuk mengerti kejamnya hidup ini.


Senja terbangun, karena menyadari adiknya tak lagi nyenyak dalam tidurnya.
“Babe…sakiit” rintih si kecil Jingga.
“Jingga kenapa? Kamu mimpi buruk apa?” Senja cemas. Ia membetulkan posisi kepala adiknya dalam pangkuannya. Masya Allah! Badannya panas sekali! “Jingga, jingga…sadar sayang. Apanya yang sakit?”. Ia panik. Bingung dengan apa yg harus dilakukan. Wajah jingga di depannya sudah sangat pucat. Bibirnya membiru. Tangannya dingin. Pelan ia membuka kelopak mata adiknya, bola hitamnya naik. Adiknya sekarat! Dia hamper menangis, ingin teriak, tapi sepertinya tidak akan membantu.
Dia letakkan kepala adiknya di atas karton yang mereka pakai untuk alas. Sedetik kemudian Senja sudah lari, meninggalkan adiknya untuk mencari bantuan.
“Pak, pak..adik saya sakit keras. Bisa bawa ke rumah sakit?” pintanya pada seorang tukang ojek yang tampak sendiri di pangkalannya.
“Ahh, lu mana ada duit buat bayarin gw. Klo sakit, noh…di depan ada apotik, lu minta obat aj kesana. RS mana mau nrima gembel kayak lu?” maki si tukang ojek.
Jingga melihat yg ditunjuk bapak itu. Di seberang jalan memang ada apotik, mungkin mereka mau berbaik hati.
“Mbak, ada obat untuk demam tinggi, wajah pucat, badan menggigil?”tanyanya masih dalam kepanikan.
“untuk usia berapa dik?” Tanya karyawan apotik itu kembali.
“6 tahun”
Tak lama, si mbak mengambil obat dan mulai menuliskan aturan minumnya. “25 ribu,dik…”
Senja bingung, karena memang tak ada uang sepeser pun di kantung bajunya.
“Tapi mbak, saya nggak punya uang?”
“Yg bener aja kamu dik. Masa beli obat nggak pake uang?” si mbak mulai gusar.
“Maaf, mbak..tapi adik saya sekarat. Tolong…” Senja mulai menangis. Tapi karyawan itu tak bergeming.
“Maaf juga dik, tapi aku Cuma kerja disini. Sama-sama orang susah. Coba kamu minta dikasihani orang-orang gedhe diluar sana, kali aja ada yg mau belikan obat buat adikmu. Maaf, aku juga banyak kerjaan” usirnya dengan halus.
Senja mengerti. Dia segera menghilang dari pandangan karyawan itu. Di seberang jalan, dia berpikir keras. Tapi bagaimana pun dipaksa, dia bingung harus bagaimana untuk mendapatkan uang segera. Dia mulai mengemis pada orang-orang bermobil di parkiran sebuah food-court di ujung jalan. Tapi jangankan member, menggubrisnya pun tidak. Yaa, Allah…bayangan akan kehilangan orang terkasihnya kembali hadir dalam matanya. Jangan sekarang, Tuhan. Jangan adik saya…bisiknya.
Sementara itu, seorang ibu dengan tas terbuka di bahunya masih sibuk menenangkan anaknya yang merengek minta donat. “Iya, iya sayang…mama mau ambil dompet dulu di mobil ya? Jangan nakal dong”. Tapi anak laki-laki 4 tahun itu nggak mau tahu.


Mata senja tertumbuk pada benda berwarna merah dalam tas ibu-ibu kaya itu. Ada perang berkecamuk dalam otaknya. Pak kyai di kampungnya selalu mengajarka untuk jujur dan jadi anak yang sholehah. Tapi adiknya sedang bergulat dengan maut disana, senja tak bisa merelakan adik satu-satunya itu pergi. Maafkan aku yaa Allah…
“Eh, jambreett…copeett…!!!” teriak si ibu histeris saat tangan kecil Senja meraih dompet dalam tasnya yang terbuka.
Orang-orang di sekelilingnya rebut, tengak-tengok lalu pandangan mereka tertuju pada satu arah. Anak perempuan yang lari membawa dompet merah di tangannya.
Bertahan, Jingga…jangan mati! . Senja sudah tak perduli berapa puluh orang dewasa mengejarnya. Yang ada di kepalanya adalah sesegera mungkin membawa adiknya yang sekarat ke dokter yang bisa menyembuhkannya. Jalanan ramai bukan halangan untuk dia menerobos motor dan mobil yang memadatinya.

BRAKK!!!

Kejadian itu sangat cepat. Sebuah benda keras menghantam tubuh kurus Senja. Senja terhempas di jalan raya. Sakiit… tapi dompet itu masih kuat di genggamannya.
Tuhan, ambil saya saja…
Matanya masih melihat genangan merah di atas aspal. Kepalanya menjadi berat. Sepertinya terantuk badan trotoar saat badannya mulai limbung kebawah. Riuh-rendah orang-orang di sekitarnya juga semakin tak terdengar. Dalam pandangannya semua berubah menjadi gelap. Pekat.
Jingga, maaf…


Pada waktu yg sama, di teras bekas bioskop di tepi jalan, seorang gadis berumur 6 tahun tertatih-tatih bangkit dari posisi tidurnya. Pandangannya kabur, mencari-cari sosok kakak yang biasanya selalu ada di sisinya. Bibirnya bergetar menyebut nama itu. “Kakak…kak senja dimana?”. Dengan berpegangan pagar, tubuh lemah itu mulai meniti pinggir jalan raya itu. Mencari saudaranya yang berjanji kembali untuk mengobati sakitnya saat ini.